Kali Pertama Masuk Ruang Operasi

Thursday, January 05, 2017


Sebelumnya, aku tidak pernah menjalani operasi apapun. Bahkan untuk membayangkan diriku akan masuk ke dalam ruang operasi pun tidak pernah. Apalagi melihat berbagai alat pemeriksaan super canggih dan merasakan salah satunya. Namun, ternyata aku Allah berkehendak lain, kemarin pagi aku harus merasakan diriku masuk ke dalam ruang operasi. 

Gedung Bedah Sentral Terpadu, 4 Januari 2017

Setelah empat kali dirujuk untuk endoskopi, akhirnya dikali keempat rujukan aku memberanikan diri untuk endoskopi. Berharap segala tanyaku terjawab. Berharap segala yang kukeluhkan segera tersembuhkan. 

Sekitar pukul 10.00, setelah menunggu 2,5 jam di ruang tunggu, setelah 1 jam dari jam seharusnya endoskopi dilakukan, namaku pun dipanggil. Aku dan temanku beranjak dari ruang tunggu, bergegas ke ruang operasi. Pertama kali melihat ruangan itu aku merasa takjub dengan pintunya yang unik sebab pintunya terbuka dengan kode angka--yang hanya diketahui petugas dan dokter. 

Di tengah rasa takjub yang masih menggantung, tiba-tiba salah seorang perawat menyerahkan baju operasi kepadaku dan menyuruh untuk segera memakainya. Setelah aku berganti baju operasi, beliau memintaku untuk naik ke atas tandu. Dengan takut-takut aku pun menurut. Tidak lama kemudian dokter yang lain datang lalu segera membantu beliau mendorong tandu tersebut menuju ruang endoskopi. Hatiku berdegup, untuk pertama kalinya aku tidur di atas tandu rumah sakit. Untuk pertama kalinya juga aku masuk ke ruang operasi, tepatnya ruang endoskopi. 

Sesampainya di ruang endoskopi, rasa takutku semakin menjadi. Kini salah seorang dokter telah memasangkan selang pernapasan ke hidungku. Rasanya sangat aneh dan risih saat memakainya. Sebelum endoskopi dilakukan, dokter yang akan mengendoskopiku menyemprotkan bius ke mulut, menyuruhku untuk menelannya. Rasanya sangat kompleks, pedas dan pahit menyatu jadi satu saat aku menelannya. 

"Coba rasakan apakah bagian rahangnya sudah menebal atau belum?" Aku coba merasakannya. Tidak jelas, tidak terlalu terasa tebal tidaknya. Lalu kukatakan pada sang dokter kalau sepertinya rahangku sudah menebal. Namun, sang dokter tetap menyemprotkan bius lagi ke mulutku. Rasanya sama aneh dan kompleksnya dengan semprotan pertama. Dan kali ini aku susah untuk menelan, bahkan ludahku sendiri. Setelah dibius, aku diminta menggigit suatu alat seperti tempat dot bayi dan memiringkan tubuhku ke kiri.

Kulihat ke arah dokter tersebut. Sebuah selang berkamera telah tergenggam di tangan kanannya. Seketika aku merasa jerih saat melihatnya. 

"Coba buka mulutnya," pinta sang dokter. Aku segera menuruti, membuka mulutku. 

"Anak Psikologi nggak boleh takut," kata dokter yang lain ketika alat itu akan dimasukkan ke mulutku. Sekejap kemudian alat itu mulai masuk ke dalam mulutku. Aku yang tadinya ingin terus membuka mata, melihat organ pencernaanku di layar, seketika mengurungkan niat tersebut. Memutuskan memejam. Walau telah dibius, aku tetap merasakan alat endoskopi itu masuk ke kerongkonganku. Sangat terasa, sangat tidak enak. Antara sakit dan risih. Sama seperti ketika ada permen yang tersangkut di tenggorokan dan kamu ingin segera mengeluarkan permen tersebut. 

Tangan kiriku terus menggenggam erat bantal, sementara tangan kananku menggenggam erat selimut. Beberapa kali aku merasa mual dan ingin memuntahkan alat tersebut. Air mataku mulai berlinang menahan sakit. Aku bahkan tidak peduli, tidak mau mendengar percakapan dokter-dokter yang menanganiku ketika melihat organ pencernaanku di layar. Hanya berharap semuanya selesai dilakukan. 

"Sudah selesai." Eh? Sudah selesai? Aku mengerutkan kening. Lalu membuka kedua mataku. 

"Wah, tadi mbaknya merem sih. Nggak mau liat layar. Padahal jarang-jarang orang bisa lihat isi perutnya sendiri." Aku hanya memasang wajah datar saat sang dokter mengatakan hal itu. Usai endoskopi, aku masih tetap berada di ruangan tersebut. Kembali menatap sekeliling. Melihat dokter yang sibuk menuliskan hasil endoskopi, yang sesekali menjelaskan singkat hasil endoskopiku. Lalu pandanganku beralih ke lemari, tempat penyimpanan alat endoskopi. Terkaget karena alatnya panjang dan berdiameter lebih besar dari stetoskop. Dan merasa tidak percaya alat tersebut baru saja keluar dari mulutku. 

"Nanti puasa 2 jam lagi ya," perintah sang dokter sebelum aku meninggalkan ruangan. Mendengar hal itu aku merasa kaget. Setelah lebih dari 10 jam berpuasa, kini aku harus puasa lagi selama 2 jam. Kata sang dokter tujuan puasa 2 jam itu karena setelah endoskopi aku akan susah menelan. Dan nyatanya memang begitu. Setelah selang pernapasan lepas dari hidungku dan penjelasan singkat dokter usai disampaikan, aku dibawa kembali ke bagian depan ruang operasi. Kembali bergantian pakaian dan dijelaskan lebih rinci oleh dokter tentang hasil endoskopiku. Aku kembali berdegup saat mendengar hasilnya. 

Aku mendengar dengan takzim setiap kata yang disampaikan dokter. Dan cukup sedih saat mendengar hasilnya. Lalu dokter tersebut menyerahkan berkas, resep obat, dan sampel jaringan. Aku membaca resep obat itu. Ada dua obat yang sama yang sudah familiar bagiku, Sucralfate dan Lansoprazole. Dan satu obat baru, yaitu Asam Traneksamat. 

"Ini obatnya bisa untuk satu bulan, sembari menunggu jadwal kontrol dengan dokter di Gastro..."

"Wah, kalau Lansoprazole sudah dikasih kemarin sama dokter di RSA," kataku menyela penjelasan dokter. Dokter tersebut menanyakan jumlah obat yang diberi. Setelah memastikan obat yang kupunya masih cukup untuk satu minggu ke depan, beliau langsung mencoret Lansoprazole dari daftar resep obat.

Pukul 11.00 aku dan temanku keluar dari Gedung Bedah Sentral Terpadu. Berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju Instalasi Patologi Antomi, menyerahkan sampel jaringan. Mengangguk kepada petugas saat diberitahu kalau hasilnya akan keluar tanggal 13 Januari depan. Lalu kembali bergegas menuju Instalasi Farmasi Rawat Jalan untuk mengambil obat.

Beberapa saat setelah endoskopi, aku merasa perutku begitu nyeri. Bahkan hingga malam hari. Bahkan setelah aku makan. Dan sampai malam hari, terkadang aku masih merasakan alat endoskopi itu masuk ke mulutku, tersangkut di kerongkonganku.

2 comments:

  1. Ngeri juga ya, Kak. :( Semoga lekas sembuh :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya begitulah, hehe. Aamiin ya rabbal alamin. Terima kasih atas doanya :"D

      Delete

Powered by Blogger.