Jas Mewah: Tentang Sejarah, Islam, dan Dakwah yang Terlewatkan



Hari ke #144

Judul: Jas Mewah
Penulis: Dr. Tiar Anwar Bachtiar
Penerbit: Pro-U Media
Tahun Terbit: April 2018
Jumlah Halaman: 387

"Jangan sekali-kali melupakan sejarah dan dakwah."

Membaca kalimat pada kover buku Jas Mewah ini pembaca sudah dapat menebak isi yang ada dalam buku ini. Mungkin, Dr Tiar Anwar Bachtiar, selaku penulis buku ini mengambil judul tersebut dari memplesetkan frasa "jas merah" yang sering didengungkan oleh Bung Karno. Sesuai dengan judul dan subjudulnya, buku ini membahas tentang sejarah di Indonesia, terutama sejarah agama Islam dan pergerakan dakwah di Indonesia.

Sebelum memasuki inti pembahasannya, sang penulis mengungkap kegelisahannya sekaligus menyindir tentang "nasib" sejarah dan karyanya di Indonesia. Bahwa di Indonesia, buku-buku sejarah masih "kalah pamor" dengan novel atau karya fiksi lainnya. Padahal sejarah amatlah penting bagi bangsa ini.

Setidaknya ada lima topik utama yang dibahas sang penulis dalam buku ini. Bagian pertama membahas tentang masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, seperti kapan Islam pertama kali masuk ke Indonesia. Bagian kedua membahas tentang pesantren yang menjadi warisan Islam khas Nusantara, seperti perkembangan pesantren dari zaman dahulu hingga sekarang.

Bagian ketiga membahas tentang gerakan dakwah yang ada di Indonesia, seperti Persatuan Islam (Persis), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), NU, Muhammadiyah, INSIST, dan ICMI. Bagian keempat membahas tentang tokoh utama bangsa, seperti Tajul Alam Shafiatuddin Johan Berdaulat (Ratu Kerajaan Aceh), Hasyim Asy'ari (salah satu pendiri NU), A. Hassan (tokoh Persis), dan M. Natsir (pendiri DDII). Dan bagian kelima membahas tentang islamisasi penulisan dan pengajaran sejarah di Indonesia.

Dari segi desain, buku Jas Mewah tampak "lebih elegan" dibanding desain buku Pro-U Media lainnya yang kebanyakan soft dan berwarna. Dari segi konten, banyak sekali yang didapat dalam buku ini. Membaca buku Jas Mewah ini agaknya membuka pikiranku dan mungkin pembaca lainnya bahwa buku-buku sejarah yang dipelajari sedari bangku sekolah dasar hingga menengah atas ternyata tidak 100% benar. Terlebih ketika membahas sejarah Islam di Indonesia yang terasa "ditutupi" atau "diputarbalikkan fakta". Serasa peran Islam di Indonesia tidak ada apa-apanya, utamanya dalam perlawanan menghadapi penjajah dan memerdekakan Indonesia.

Seperti ketika membahas tentang Pangeran Diponegoro yang digambarkan Jawa-sekuler padahal dia dekat dengan para ulama untuk menimba ilmu. Pun melakukan banyak ibadah, seperti puasa sunnah, salat malam, dan i'tikaf sehingga tidak membuatnya tidak terlena dengan dunia. Bahkan perang antara Pangeran Diponegoro beserta pasukannya dengan VOC (Belanda) yang berlangsung pada 1825-1830 itu disebut sebagai Perang Sabil atau perang fii sabilillah. Namun, di buku sejarah perang itu disebut dengan Perang Diponegoro.

Pun ketika membahas tentang Kartini yang merasa perempuan menjadi "kaum kelas dua" sehingga tidak diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan. Dalam buku Jas Mewah ini, pemikiran Kartini tersebut hanya karena dia berada di lingkungan priyayi dan mungkin saja memang itu hanya terjadi di lingkungan priyayi. Sehingga Kartini menulis pemikirannya dalam surat-suratnya yang menyuarakan tentang emansipasi wanita. Padahal beberapa zaman sebelum Kartini, beberapa kerajaan dan perang dipimpin oleh perempuan. Pesantren diperuntukkan santri perempuan. Dan sudah ada pembagian peran antara laki-laki dan perempuan di lingkungan masyarakat. Membaca Jas Mewah ini, aku baru tahu bahwa buku surat-surat yang terbukukan dalam Habis Gelap Terbitlah Terang dikumpulkan oleh Mr. J.H. Abendanon yang menjadi menteri dalam Hindia Belanda. Sehingga secara tidak langsung Mr. J.H. Abendanon "meminjam tangan" Kartini untuk mengajarkan pemikiran feminis-liberalisme.

Selain itu, dalam bagian terakhir buku Jas Mewah ini, sang penulis mengkritik penulisan sejarah Hamka, Ahmad Mansur Suryanegara (AMS), dan Syed M. Naquib al-Attas. Seperti AMS yang dianggap kurang matang dari segi metodologi karena mengambil sumber sekunder ketika menulis buku Api Sejarah. Namun, sang penulis memuji AMS yang berhasil membuka pikiran orang awam tentang sejarah Indonesia, khususnya sejarah Islam di Indonesia. Bagi pembaca Jas Mewah yang belum membaca karya AMS mungkin akan kebingungan akan kritik-kritik yang ditujukan sang penulis.

Cukup merinding sekaligus sedih ketika membaca buku Jas Mewah ini yang ternyata Islam terasa dibuat hanya "angin lewat" dalam sejarah di Indonesia. Padahal cukup banyak peran Islam dalam memerdekakan Indonesia. Ternyata mengerikan ketika sejarah digunakan untuk tujuan golongan atau oknum tertentu yang menyudutkan pihak lain. Sehingga membuat orang Indonesia--utamanya orang awam yang tidak bergerak di bidang sejarah--tidak mengetahui mana sejarah yang sebenarnya. Dan buku Jas Mewah ini mengajak pembaca untuk tersadar akan hal tersebut.

No comments:

Powered by Blogger.