Rezeki Pagi Hari Part 2



Hari ke #244

Hari ini, disadarkan kembali tentang rezeki. Bahwa mau menjemput rezeki atau tidak, mau bekerja atau tidak, dan mendapat penghasilan itu tidak bergantung pada usia dan kemampuan. Namun, lebih pada kemauan masing-masing orang. Sebab, ada orang yang sudah berusia senja, tetapi tetap bekerja dengan ikhlas. Sebaliknya, ada yang berusia sama, tetapi bekerjanya meminta belas kasih orang lain. Begitupun ada orang yang masih muda, yang bekerja keras membangun usahanya. Namun, ada juga yang bermalas-malasan, enggan melakukan apapun, tetapi ingin mendapat apa saja.

Seperti tadi pagi, ketika kami mengantar makanan untuk dititipkan ke temannya Mas yang memiliki usaha menjual jajanan pasar. Terasa sekali semangat anak muda dalam membangun usaha. Bagaimana mereka memahami bagaimana packaging yang bagus untuk jualan kami. Pun bagaimana agar mendapat banyak keuntungan yaitu dengan menitipkan makanan ke warung atau lapak-lapak lain yang serupa. Sebab, kalau hanya dititipkan ke satu lapak terasa sekali jika ada kerugian. Namun, jika dititipkan ke banyak lapak, jika ada kerugian tidak begitu terasa, bahkan dapat meminimalkan kerugian. Mereka juga mengatakan bahwa berjualan itu sebenarnya bukan sekadar berjualan, tetapi juga membangun relasi.

Mereka juga mengaku telah akrab dengan warga dan penjual sekitar sehingga tidak takut kehilangan jika meninggalkan barang-barang mereka--yang terkunci, tetapi tetap terlihat dari luar. Bahkan mereka merekomendasikan tempat mana saja jika kami mencari ikan, rames, bubur ayam, atau pick-up. Kalau kata salah seorang temannya Mas, "silaturahmi itu membuka pintu rezeki di mana-mana." Selain itu, katanya, penjual-penjual tersebut, termasuk mereka, sangat menerima masukan dari konsumen. Jadi, ketika ada konsumen yang mengatakan "tidak enak" kepada makanan yang dijual, mereka tidak langsung merespons negatif. Sebaliknya, mereka bertanya, "kurangnya di bagian mana?". Jadi, ketidakenakan tersebut dapat diperbaiki.

Di sisi lain, ketika kami usai berolahraga di suatu tempat, kami dihampiri oleh seorang tukang becak yang meminta uang karena belum mendapat setoran. Pikirku, "kok baru jam segini udah nyerah aja?" Sebab, tadi padahal masih pagi, bahkan belum genap pukul 09.00. Beliau terus membujuk kami dengan alasan ini dan itu. Namun, yang menyangsikan diri kami untuk memberi adalah Beliau memegang sebatang rokok yang tinggal sepertiganya. Beliau berkilah kalau rokok tersebut diberi oleh orang lain dan sekejap kemudian membuangnya ke pinggir jalan, tepat di hadapan kami.

Melihat Beliau, aku jadi teringat salah satu cerita pendek dalam "Mata yang Enak Dipandang", berjudul "Penipu yang Keempat". Cerita pendek tersebut berkisah tentang seseorang yang memberi uang setiap kali ada orang yang datang kepadanya, padahal tahu kalau mereka menipunya. Ketika bertemu penipu ketiga, dia tetap memberi uang. Meski tahu kalau dia sedang ditipu dengan cerita karangan sang penipu ketiga. Menjual cerita tentang istrinya yang sakit agar mendapat belas kasih orang lain.

Ketika kami akan pulang, kami melihat tukang becak sedang menghampiri pengunjung lainnya. Di satu sisi iba, di sisi lain miris. Sebab, menurutku, dengan Beliau menjadi tukang becak saja sudah menunjukkan Beliau masih kuat fisiknya. Namun, sebaliknya, Beliau justru meminta belas kasih orang lain. Padahal di sisi yang berbeda, ada orang-orang seusia Beliau, meski fisiknya tidak sebaik Beliau, tetapi mereka tetap mau berjualan. Tidak menggadaikan harga diri untuk mendapat belas kasih orang lain.

No comments:

Powered by Blogger.