Proposal Kehidupan Part 2



Hari ke #213

Di tahun ini, ada dua "proposal kehidupan" yang kukirim ke Allah. Satu proposal berbentuk fisik melalui perantara sebuah lembaga. Satu proposal lagi berbentuk tidak tertulis yang kupanjatkan usai salat.

Secara tidak sengaja, kedua proposal tersebut berjalan beriringan. Hingga akhirnya salah satu proposal harus terhenti di tahap terakhir, tidak lolos menjadi bagian di dalamnya. "Menyisakan" satu proposal lain yang mencapai garis akhir. Pun semua orang begitu kaget ketika aku mengirimkan undangan--digital--hasil proposal yang mencapai garis akhir. Bahkan, sebelum undangan resmi disebar, saking kagetnya, ada seorang kawan yang langsung mengajak bertemu untuk menginterogasiku.

Dari hari H hingga sekarang sebenarnya masih belum percaya kalau sudah berganti status. Setidak-percaya ketika dulu diterima di UGM, tetapi dengan porsi yang lebih banyak. Jika diselisik ke belakang, prosesku dengan Mas serasa "dipermudah-banget". Selain ibadah, alasanku untuk menikah di usia sekarang adalah karena merasa membutuhkan seseorang untuk melindungi. Setiap orang diuji dengan hal yang berbeda. Dalam kasusku, aku selalu merasa diuji dengan urusan hati. Untuk itu, setelah izin ke orang tua dan memantapkan diri, Februari kemarin aku mengajukan proposal ke murabbiyah liqoku untuk diproses di suatu lembaga. Pun di bulan Februari itu, aku sedang mendaftar S2 Psikologi UI. Dan @flpyogya sedang menjalani proses seleksi anggota.

Selang sebulan setelahnya, di pertengahan bulan Maret, ada seorang kawan di suatu lembaga yang sedang ikut seleksi @flpyogya mengatakan bahwa ada titipan buku untukku. Saat itu, kupikir maksudnya untuk Rumah BaCa atau Perpustakaan Baitul Hikmah. Ternyata maksudnya memang untukku. Setelah dia memberikan buku kepadaku, ternyata buku itu ditulis oleh kawannya yang satu kelompok saat seleksi @flpyogya. Setengah kaget aku membatin, "maksudnya apa?". Namun, temanku tidak mau cerita hingga harus dipaksa akhirnya dia mau mengatakan yang sesungguhnya. Dan ternyata yang memberi buku itu yaitu sang penulisnya langsung. Pun tujuannya agar ingin mengenalku lebih dekat melalui orang tuaku. Lalu aku cerita ke murabbiyahku tentang hal tersebut. Beliau bilang kalau jangan dulu ke orang tua. Takutnya orang tua sudah terlanjur setuju, tapi aku sendiri belum setuju.

Beberapa hari setelahnya, kawannya temanku tersebut menagih jawaban. Murabbiyahku akhirnya mengatakan untuk memberikan nomor Beliau ke kawannya temanku. Singkat cerita, setelah kawannya temanku tersebut chat dengan murabbiyahku. Beliau pun memberi keputusan untuk bertukar proposal/CV terlebih dulu. Kebetulan juga, di lembaga tersebut, proposalku belum diproses. Akhirnya proposalku "dicabut" dari lembaga tersebut. Dan kami pun bertukar proposal.

Kalau diingat lagi, prosesku dengan kawannya temanku--sebut saja Mas--memang terbilang cepat. Pun terasa dipermudah sekali. Setelah bertukar proposal, akhir April lalu kami dengan ditemani murabbi masing-masing pun akhirnya bertemu secara langsung untuk taaruf. Saat itu, rasanya bercampur menjadi satu. Berdegup iya, senang juga iya. Apalagi aku dengan Mas tidak pernah berbicara secara eksklusif. Sebab di @flpyogya waktunya begitu singkat. Namun, aku ingat sekali perbincangan pertama dengan Mas itu terjadi di anak tangga Telkom. Saat itu Mas meminta izin kepadaku kalau diterima menjadi anggota, Mas izin tidak dapat mengikuti PDKT+Empatik 1 karena ada acara. Kebetulan saat itu aku menjadi narahubung proses rekrutmen dan seleksi anggota baru. Di taaruf tersebut, kami membicarakan hal-hal yang "mengganjal" ketika kami membaca proposal masing-masing. Pun aku bertanya tentang alasan Mas "tertarik" untuk mengenalku lebih dekat. Ternyata alasannya karena merasa satu visi ketika membaca salah satu tulisanku di blog tentang parenting. Cukup kaget dan amazed, ternyata sebuah tulisan memiliki dampak yang seperti itu. Aku jadi teringat akan pertanyaan seorang calon anggota @flpyogya sewaktu aku mengisi acara seleksi. Pertanyaannya, "apa saja hal yang Mbak dapatkan dari nge-blog?" Kalau diberi pertanyaan serupa itu lagi, mungkin akan kujawab, "jodoh".

Setelah taaruf, kami diberi satu minggu untuk menentukan jawaban. Namun, di hari keempat aku baru memberi jawaban "lanjut" kepada murabbiyahku. Salah satu pertimbangannya karena--yang kulihat--agamanya Mas bagus. Murabbiyahku pun berkali-kali mewanti untuk tidak terlalu intens berkomunikasi dengan Mas. Sebab kami belum sah dan setan suka sekali menggoda manusia yang ingin melangsungkan pernikahan.

Dari situ, proses selanjutnya dari khitbah menuju hari pernikahan terasa begitu dipermudah oleh Allah. Bahkan mungkin saat aku meniatkan untuk menikah. Mungkin ini pertanda agar Allah ingin aku lebih dekat dengan-Nya. Pun agar aku lebih banyak bersyukur. Dan sepertinya salah satu alasan Allah belum mengabulkan doaku untuk lanjut S2 tetapi justru mengabulkan doaku untuk menikah meski tahun ini belum agar aku lebih dapat menyiapkan diri. Pun agar aku dapat langsung belajar tentang perkembangan anak.

4 comments:

Powered by Blogger.