Kali Kedua Hari Raya di Perantauan



Hari ke #234

Setiap kali mendengar gema takbir berkumandang, hati ini bergetar. Mengingat kebesaran Allah, Yang Mahabesar. Ada kesedihan sekaligus kebahagiaan ketika mendengarnya. Sedih, mengingat diri ini begitu kecil tetapi seringkali lalai akan nikmat-Nya. Pun bahagia bercampur haru karena Allah masih memberiku waktu di dunia untuk mensyukuri nikmat-Nya, beribadah kepada-Nya.

Salah satunya di Iduladha tahun ini. Meski ini kali keduaku salat id di perantauan, tetapi terasa sekali perbedaannya. Baik lingkungannya, nuansanya, maupun orang-orangnya. Sesuatu yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.

Selepas salat, setelah beristirahat sejenak di kontrakan, Mas mengajakku ke masjid untuk membantu warga yang sedang melakukan penyembelihan dan pemotongan hewan kurban. Sesampainya di masjid, rasanya begitu canggung. Terutama untukku yang tipikal socially-awkward. Namun, Mas mendorongku untuk berbaur dengan warga. Sementara Mas begitu luwes membaur dengan bapak-bapak yang sedang memotong daging dan tulang, aku begitu canggung untuk masuk ke tenda para ibu-ibu. "Ada yang bisa kubantu, Bu?", pertanyaan yang kuajukan ke mereka. Begitu canggung. Ketika dua kali bertanya, seorang ibu malah mengajakku untuk membaur bersama Beliau dan beberapa ibu-ibu yang sedang mengobrol--entah apa. Menit-menit awal terasa canggung. Pertanyaan-yang-sering-diajukan-kepada-orang-yang-baru-dikenal pun keluar. Aku menjawab sekenanya. Setelahnya aku hanya menjadi pendengar ketika mereka mengobrol kembali. Belasan menit yang cukup panjang ketika tidak melakukan apa-apa di tengah orang yang baru kukenal. Bersabar menunggu hingga masa menganggurku pun berakhir. Bermula dari mengupas kulit timun, pekerjaan-pekerjaan lainnya pun ikut menyusul. Hingga tongseng sapi pun dapat terhidang untuk warga yang sedang membantu. Sepiring tongseng sapi dan segelas teh hangat pun terasa begitu nikmat ketika dimakan bersama.

Aku jadi teringat perkataannya Mas kalau kehidupan setelah menikah itu sangat berbeda. Perbedaan paling terasa yaitu lebih harus bermasyarakat dengan warga sekitar. Kalau kata senior di kampus, berdakwah yangsebenarnya itu di masyarakat. aktivitas dakwah di kampus itu untuk latihan. Dan ternyata memang benar. Apalagi latar belakang masyarakat sekitar beda-beda. Tidak semua orang berlaku baik kepada kita. Terkadang kita mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan. Kalau kata seorang ibu-ibu, "kalau diseneni orang itu didiemke wae mbak." Beruntungnya, Mas selalu mendorongku untuk membaur dengan warga sekitar, terutama para ibu-ibunya.

No comments:

Powered by Blogger.