Tentang WHC dan Program-program Menulis yang "Memaksa"



Hari ke #313

Di kepengurusan tahun ini, banyak program @flpyogya yang begitu menantang sekaligus membiasakan para pengurus dan anggotanya untuk rajin membaca dan menulis. Kalau sebelumnya ada Batu (Baca Tulis) yang hasilnya berupa resensi, ODTL (One Day Tiga Lembar) yang berupa laporan membaca minimal tiga lembar dalam sehari, dan kali ini ada WHC (Writing Habit Challenge). Kehadiran WHC seperti terasa pas mengingat diri ini sedang tidak istikamah dalam menulis. Menurutku, program ini memacuku dan juga teman-teman lainnya untuk menulis setiap hari. Mengistikamahkannya, setidaknya selama satu bulan ini. Sebab, sepertinya banyak orang--termasuk aku yang melakukan sesuatu berawal dari paksaan.

Kalau kata salah satu ustadz, ibadah sendiri juga dilakukan berawal dari paksaan. Karena jika tidak begitu, mungkin tidak ada manusia yang mau melakukan ibadah. Dampak baiknya, dari paksaan tersebut akan melahirkan kebiasaan, membiasakan kita untuk dapat melakukannya secara rutin. Hingga akhirnya kita dapat melakukan hal tersebut tanpa merasa dipaksa. Mungkin begitu juga dengan WHC dan program-program serupa lainnya.

Dulu, aku pernah mengikuti beberapa program menulis novel selama beberapa bulan dari sebuah kelas menulis online. Saat itu terasa "begitu mudah" untuk menulis dua hingga empat lembar, meski di awal begitu sulit. Kebiasaan tersebut bisa dilakukan hingga draft novelku pun selesai. Namun, usai program itu berlangsung, kebiasaan selama program susah untuk kembali dilakukan. Aku sempat berpikir mengapa hal tersebut bisa terjadi dan menemukan beberapa hal yang menjadi penyebab. Pertama, karena kita sendirian melakukannya. Kalau saat program terasa mudah karena kita memiliki teman yang sama-sama harus menyelesaikan draft novel atau buku non fiksi. Kedua, tidak adanya punishment ketika kita melakukannya. Berbeda dengan saat ketika mengikuti suatu program, ada punishment jika kita tidak menulis. Jadi, hal tersebut membuat kita, mau tidak mau, harus mengerjakannya agar tidak mendapat punishment. Ketiga, tidak adanya target waktu. Mungkin karena atas inisiatif sendiri, kita jadi lebih fleksibel dalam menentukan target waktu buku itu selesai ditulis. Berbeda dengan saat mengikuti program menulis, kita tahu tanggal sekian draft buku kita harus sudah selesai.

Dari situ sebenarnya menyadarkan kita bahwa mengistikamahkan sesuatu, dalam hal ini menulis, itu sulit. Seperti yang dikatakan banyak orang bahwa lebih mudah memulai dibanding mempertahankannya. Dan saat ini ungkapan itu begitu terasa nyata. Padahal bulan pertama hingga kesembilan terasa begitu mudah melakukannya. Kembali ke WHC, semoga program ini dapat kembali membiasakanku untuk menulis dan menuntaskan utang-utang tulisanku yang belum kulunasi semua.

No comments:

Powered by Blogger.