Menangkap Hidayah Part 2



Hari ke #331

Bagiku, salah satu cara menjaga keistikamahan dalam berhijrah adalah mendengar kisah hijrahnya orang lain. Salah satunya kisah hijrah inspiratif yang pagi tadi kudengar yang terjadi pada seorang seniman tato. Dari kisahnya, sebenarnya dia termasuk orang yang berasal dari keluarga berkecukupan dan paham agama. Mungkin karena berkecukupan itu, sejak kecil dia selalu "dimanjakan" oleh kedua orang tuanya, hampir semua yang diinginkannya selalu dituruti. Hidup di lingkungan yang religius sejak kecil ternyata tidak dapat menjadi bekalnya ketika remaja.

Hingga suatu hari ada seorang kawan yang mengenalkan musik kepadanya. Ternyata, berawal dari musik itu, hidupnya mulai berubah gelap. Terjerumus kepada pergaulan salah. Berawal dari bermain band, berpenampilan rocker, hingga akhirnya dia mengenal minuman keras dan narkoba. Bahkan narkoba membuatnya mendekam di jeruji besi ketika berusia 17 tahun. Meski hal tersebut tidak membuatnya interospeksi diri. Selepas lima bulan dipenjara, dia mengikuti saran orang tua untuk berkuliah. Ternyata dia kembali terjerumus ke pergaulan yang salah, membuatnya semakin kecanduan. Hingga kembali masuk ke hotel prodeo karena narkoba. Usai bebas untuk kedua kalinya, ternyata dia tidak bisa lepas dari narkoba. Namun, di sisi lain dia merasa malu kepada orang tuanya dan tidak ingin merepotkan mereka. Apalagi ketika dia pulang ke rumah setelah keluar dari penjara, orang tuanya tidak menyukai tato yang "tiba-tiba" ada di kaki dan tangan sang anak. Karena hal tersebut, dia membuka usaha membuat tato karena selama dipenjara dia pernah belajar menato dan semakin serius belajar tato ketika akan membuka usaha tersebut. Ketika orang tuanya tahu dia akan membuka usaha membuat tato, mereka selalu menasihatinya dengan berbagai cara, termasuk memberi tahu tentang larangan membuat tato ataupun meminta ditato.

Akibat kecanduan tersebut, dia harus mengonsumsi narkoba dulu sebelum menato kliennya. Hingga satu titik dia merasa bosan akan kecanduannya terhadap narkoba, pun takut jika narkoba membuat kariernya hancur, dia pun memutuskan untuk pindah ke Bali. Namun, ternyata dia menemukan arti ketuhanan. Dia mulai merindukan suara adzan yang jarang didengarnya selama di Bali. Pun dia merasa jika mau sukses di Bali berarti dia harus meninggalkan agama. Perasaan tersebut membuatnya kembali berpindah-pindah tempat. Bahkan mau untuk kembali ke rumah. Meski masih membuka usaha membuat tato, tetapi dia mulai rajin membaca artikel tentang agama. Mulai rajin salat, dari yang awalnya sembunyi-sembunyi karena takut dicela orang lain, hingga dia mulai terang-terangan salat dan mengajak kliennya untuk salat bersama di masjid. Bahkan setiap adzan berkumandang, dia menghentikan proses menato dan bergegas ke masjid. Setelah dia mengejar semua apa yang diinginkan, dia mulai berpikir, "lalu mau apalagi? Mau nato terus sampai mati?" Pikiran tersebut membuatnya bertekad untuk hijrah total, berhenti menato, tetapi dia belum tahu harus melakukan apa.

Setelah dia bertekad hijrah total, ternyata teman-teman komunitas tato tidak mendukungnya, bahkan menertawakan keputusannya. Pun ketika dia salat berjamaah di masjid, semua mata memandang sinis kepadanya. Hal tersebut membuatnya malu untuk berjamaah di masjid. Hingga perasaan malu tersebut berbuah penyesalan, perasaan bersalah ketika mengingat orang-orang yang ditatonya. Memikirkan bagaimana kehidupan sosial dan agama orang-orang yang ditatonya. Sebagai ikhtiar untuk menebus dosa dan penyesalan tersebut, akhirnya dia membuka usaha tattoo removal dengan biaya yang cuma-cuma, hanya modal tobat dan hafalan Alquran.

Selain hijrah sang seniman tato, hal menarik lainnya dalam video tersebut yaitu ketika salah satu klien bercerita tentang alasan di balik keinginannya untuk menghapus tato. Ternyata alasannya serupa dengan sang seniman tato, sang klien bercerita kalau setiap kali ke masjid, semua orang begitu sinis memandang dirinya. Sang klien pun mengaku selalu menangis setiap melihat tato yang ada di tangannya. Termasuk setiap kali salat, takbiratul ihram, dan tidak sengaja melihat tato yang tergambar di tangannya, sang klien kembali menangis. Dan selepas salat, dia selalu berdoa agar tato tersebut hilang.

Dari cerita sang seniman tato dan kliennya tersebut, terlihat sekali penyesalan yang mereka rasakan karena telah melukiskan gambar di tubuh. Mendengar cerita mereka yang dipandang sinis orang-orang ketika berjamaah di masjid, membuat hatiku merasa tercabik dan ikutan sedih. Betapa orang-orang yang memiliki masa lalu yang buruk bahkan tatonya masih terlukis di tubuhnya, memiliki keinginan yang kuat untuk tobat, untuk memperbaiki diri, untuk tetap melaksanakan salat berjamaah di masjid meski orang-orang memandang sinis mereka. Proses hijrah mereka dan orang-orang lainnya membuatku semakin takjub dengan hidayah Allah yang tidak memandang bulu siapapun yang akan dikehendaki. Mereka begitu total dalam berhijrah, meninggalkan seluruh kemaksiatan, meninggalkan lingkungan atau pekerjaan yang nantinya bisa menjerumuskan mereka ke lubang yang sama. Jadi, kita harus malu ketika memiliki masa lalu yang tidak seburuk mereka, tetapi kita masih bermalas-malasan dalam salat, masih bermalas-malasan dalam melakukan ibadah lainnya, pun masih bermalas-malasan dalam mendalami ilmu agama.

Dari cerita itu juga dapat terlihat siapa orang-orang yang hanya ada dalam kesenangan, hanya mendukung kita untuk berbuat maksiat. Namun, justru menjauh kita dalam keadaan susah atau ketika ingin bertobat dan membutuhkan dukungan orang terdekat. Dan akan terlihat siapa yang benar-benar pantas menjadi kawan kita. Siapa yang tidak boleh kita lepas keberadaannya dan yang harus kita pegang. Dalam kisah sang seniman tato, kawan-kawan komunitas tato justru tidak mendukungnya untuk bertobat. Namun, keluarga terutama orang tua yang sering ditinggalkannya, yang sering diabaikan nasihatnya, justru yang paling welcome menerima kehadirannya. Orang-orang yang paling mendukungnya untuk kembali ke jalan yang benar. Pun tidak memandangnya dengan sinis. 

No comments:

Powered by Blogger.