Tiga Penjual Makanan yang (Mungkin) Cuma Ada di Jogja

Thursday, January 14, 2021

 


Tidak terasa tahun ini aku memasuki tahun kedelapan tinggal di Jogja, hampir tiga tahun di antaranya melalui berbagai hal di Jogja bersama Mas @muflihin_ibnu_m.nur. Pun hampir dua tahun di antaranya menyandang status ibu sekaligus status sebagai "warga ber-KTP Kota Yogyakarta yang tinggal di Bantul". Sangat tidak kusangka sebelumnya. Dari yang awalnya hanya berniat merantau, hingga akhirnya pindah KTP Jogja. Setelah tinggal di Jogja, tentu banyak hal menarik kutemui, pun banyak ilmu yang kudapatkan.

Apa sajakah itu? Beberapa di antaranya mungkin cuma ada di tempatku.

  1. Lupis Mbah Satinem

    Bagi warga Jogja atau wisatawan yang suka berwisata kuliner, terutama makanan tradisional, tentu tidak asing dengan Lupis Mbah Satinem yang terletak di baratnya Tugu Jogja. Dari beberapa sumber menyebutkan Lupis Mbah Satinem sudah ada sejak tahun 1963.  Sesuai namanya, Mbah Satinem menjual lupis, cenil, tiwul, gethuk. Aku pernah mencoba beberapa kali dan memang rasanya enak. Selain rasa, yang menjadi keunikan dari Lupis Mbah Satinem yaitu cara memotong lupis yang menggunakan benang. Tidak mengherankan jika Lupis Mbah Satinem selalu ramai dan  menjadi alah satu destinasi wisata kuliner legendaris di Jogja. Bahkan jika ingin membelinya, kita harus mengambil nomor antrean terlebih dahulu.

  2. Warung Mae

    Setelah tinggal di sekitar UMY, aku baru tahu ada warung makan yang murah. Mas menyebutnya "Warung Mae" karena biasanya penjualnya dipanggil mae. Ketika pertama kali ke sana, aku cukup terkejut karena total uang yang kami habiskan tidak sampai 20.000. Padahal saat itu, kami membeli dua ayam, beberapa jenis oseng, dan beberapa gorengan. Bahkan saat itu kami diberi beberapa gorengan lagi secara gratis. Kata Mas, sejak dulu Mae sudah begitu, menjual makanannya dengan harga yang murah-murah. Bahkan sering memberikan makanan lebih kepada pelanggannya. Termasuk Mas yang sejak awal kuliah di Jogja sudah sering makan di Warung Mae karena kosnya di sekitar situ.

  3. Penjual Sate Keliling

    Ketika awal masa kuliah dulu, Karangmalang menjadi tempat tinggalku yang pertama. Aku ingat sekali di sana juga menjadi tempat pertamaku melihat ibu penjual sate keliling yang dagangannya ditaruh di atas kepala. Saat itu, aku merasa takjub karena selama tinggal di kampung halaman, Purwokerto, aku belum pernah melihat penjual sate seperti itu. Sayangnya dulu aku jarang membeli dagangan ibu tersebut.

    Qadarullah, setelah menikah dan tinggal di sekitar UMY, aku kembali melihat ibu-ibu penjual sate keliling seperti itu. Bahkan, ada salah satu penjual yang sering lewat di depan kontrakan. Jadilah kami sering membelinya. Apalagi setelah Umar MP-ASI, sate jualannya Beliau menjadi andalanku jika sedang malas masak. Selain dagangan yang ditaruh di kepala, ciri khas lain dari penjual sate keliling tersebut yaitu suaranya yang melengking. Saking seringnya lewat di depan kontrakan, Umar bisa segera bangkit dan menuju jendela kamar untuk melihat sang penjual sate sembari menirukan suaranya. "Te...sate...", kata Umar.

    Hal lainnya yang membuatku takjub dari penjual sate tersebut yaitu kuat berjalan jauh sembari membawa dagangan di atas kepalanya. Padahal yang ditaruh di atas kepala tidak hanya sate+lontong+bumbu kacang, tetapi ada juga alat pemangganya dan dingklik (kursi kecil). Setelah mencari beberapa sumber, ternyata gaya berjualan seperti memang sudah menjadi ciri khas orang Madura. Pun biasanya memang para perempuan yang berjualan dengan menaruh dagangannya di atas kepala. Setelah kuingat lagi, penjual sate yang sering lewat di depan kontrakan memang berasal dari Madura. Dia pun pernah bercerita tentang aktivitasnya dari selepas Subuh sudah mulai bersiap untuk berjualan dan malam hari tetap digunakan untuk membuat lontong serta menyiapkan sate+bumbunya. Aku yang mendengarnya merasa tidak sanggup jika harus seperti itu.

  4. ahdkja
  5. kdkdfh

No comments:

Powered by Blogger.