Sebuah Diskusi Online Tentang Quarter Life Crisis



Hari ke #337

Beberapa tahun ini, istilah "quarter life crisis" menjadi perbincangan yang hangat di kalangan dewasa awal berusia 20-an. Sebenarnya istilah tersebut sangat "nyikologis". Namun, seingatku, sepertinya tidak ada istilah tersebut ketika membahas perkembangan manusia. Atau mungkin aku yang tidak ingat jika pernah dibahas hal tersebut saat kuliah.

Mengutip dari Pijar Psikologi, secara definisi quarter life crisis adalah sebuah titik dalam hidup manusia di mana krisis mengenai identitas diri mengalami puncaknya. Semua perubahan ini terjadi ketika seseorang memasuki fase dewasa awal. Secara umum, biasanya quarter life crisis berhubungan dengan aspek pendidikan, pekerjaan, jodoh, dan hal-hal lain yang akan terjadi di masa depan. Seperti setelah lulus SMA akan kuliah di mana dan mengambil jurusan apa, lalu setelah lulus kuliah mau buka usaha apa atau kerja di mana atau lanjut kuliah di mana, lalu mau menikah di umur berapa dan jodohku nanti seperti apa. Kebingungan-kebingungan yang lambat laun berubah menjadi ketakutan itu ketika suatu hari nanti akan terjadi ternyata tidak semenakutkan yang kita duga.

Saking menariknya pembahasan quarter life crisis dan banyaknya orang yang merasa mengalami hal itu, ternyata cukup banyak kelas diskusi--baik secara offline maupun online--yang membahas tentang hal tersebut. Salah satunya kelas diskusi di WhatsApp yang diisi oleh mas @kurniawangunadi. Dari segi materi diskusi, sebenarnya pembahasan mengenai quarter life crisis tidak jauh berbeda dari sumber-sumber lainnya. Bahwa yang dikhawatirkan dalam quarter life crisis adalah kebingungan menentukan perguruan tinggi, setelah kuliah mau jadi apa, dan nantinya akan menikah dengan orang yang seperti apa. Namun, hal yang membuat menarik dari pembahasan tersebut yaitu Beliau tidak hanya melihat quarter life crisis dari satu sisi saja (psikologi) tetapi juga dari sisi agama. Seperti, bahwa seringkali apa yang terjadi saat ini merupakan konsekuensi dari yang kita ambil beberapa tahun lalu. Dan seharusnya kita tidak perlu menyesali hal tersebut. Sebab, hal tersebut bukan suatu keputusan yang salah. Kata Beliau, “Yang ada adalah kita salah memahami keadaan, kita gagal mendapatkan pembelajaran dari peristiwa ini, kita gagal mengerti bahwa di atas rencana kita ada rencana-Nya yang lebih baik.” Sebuah nasihat yang kata Beliau seringkali kita gagal menempatkan keimanan di atas keinginan itu.

Membaca setiap kata dalam materi Beliau dan jawaban yang diberikan atas pertanyaan-pertanyaan peserta, aku mendapat kesimpulan bahwa apa yang kita takutkan tentang masa depan seringkali salah. Sebab, seringkali ketika merencanakan atau menginginkan sesuatu, kita tidak atau belum sempurna untuk menempatkan keimanan di dalamnya. Dampaknya, jika keinginan atau rencana tersebut tidak terwujud, kita akan mudah merasa kecewa, mudah putus asa. Sebaliknya, ketika kita menempatkan keimanan di dalamnya, kita tidak akan mudah merasa kecewa atau putus asa. Sebab kita yakin bahwa itu semua merupakan takdir Allah. Pun di balik kegagalan tersebut, ada rencana-Nya yang begitu indah. Namun, seringkali tanpa disadari sebagian dari kita menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang klasik. Menafikan hal tersebut sehingga tanpa disadari justru memisahkan urusan dunia dengan agama.

Hal menarik lainnya dari diskusi bersama Beliau tersebut, terutama saat sesi tanya jawab, aku menemukan dua benang merah yang sama. Pertama, untuk mengatasi bahkan untuk menghindari quarter life crisis, kita perlu mengenal lebih dekat diri kita. Berdialog dengan diri kita. Bagaimana keadaan kita saat ini, apa saja yang terbaik dan cocok untuk kita, apa saja yang kita butuhkan dan tidak dibutuhkan. Sebab, orang yang paling memahami kita adalah diri kita sendiri. Kedua, mendiskusikan dengan orang terdekat tentang keputusan yang kita ambil. Seringkali, ketika kita akan memutuskan sesuatu dan hal tersebut bersinggungan dengan orang lain--apalagi orang terdekat--kita justru enggan mendiskusikannya. Entah karena kita merasa bisa memutuskannya sendiri. Entah karena kita merasa orang lain atau orang tua kita tidak dapat memahami kita. Atau entah karena kita merasa sungkan untuk melakukannya. Padahal hal tersebut sangatlah penting bagi kita. Apalagi orang Indonesia termasuk orang-orang yang sangat membutuhkan social support dari support system atau orang terdekat kita.

No comments:

Powered by Blogger.