Tentang Tiga Novel Terakhir yang Kubaca



Hari ke #198

Tiga novel terakhir dari tiga penulis berbeda sempat membuatku berpikiran sesuatu. Bahwa setiap karya begitu lekat dengan latar belakang sang pembuat. Dan tiga novel itu memang terasa berbeda--lepas dari ceritanya yang memang berbeda. Mulai dari ide cerita, konflik, amanat, dan diksinya.

Pertama, novel Pukat yang berlatar belakang seorang anak yang tinggal di salah satu kampung di Sumatera. Kemungkinan besar di Sumatera Barat--tapi entah di mana--karena Tere Liye, sang penulis, berasal dari sana. Dan setelah kuingat lagi, banyak novel Tere Liye yang berlatar belakang orang Sumatera, terutama Sumatera Barat. Entah dijadikan latar tempatnya, maupun hanya identitas sang tokoh. Diksi dalam novel Pukat terasa berbeda sekali dengan novel Kubah dan novel Merindu Baginda Nabi. Lebih terasa "Melayu banget", "Sumatera Barat banget"--hanya ke-sok-tahu-an-ku saja sebenarnya yang merasa seperti itu. Pun banyak sekali nilai-nilai yang disampaikan Tere Liye dalam novel Pukat--dan serial anak mamak lainnya.

Lain dengan novel Kubah yang berlatar belakang masa-masa tahun 1960-an yang sangat lekat dengan isu-isu PKI, "kaum kiri". Mungkin karena Ahmad Tohari--sang penulis--pernah mengalami tahun-tahun tersebut jadi pembaca seperti ikut merasakan cerita dalam novel Kubah. Bagaimana Karman didoktrin dengan doktrin-doktrin PKI hingga akhirnya harus diasingkan ke Pulau Buru. Selain Kubah, novel Ahmad Tohari yang lain pun banyak yang bercerita tentang kehidupan sosial, yang terasa "masyarakat banget". Sebelum Kubah, aku pernah membaca novel Orang-orang Proyek, dan efeknya, setiap melihat jalanan rusak, aku selalu teringat akan cerita dalam novel Orang-orang Proyek. Selain itu, yang membuatku "merasa bangga" yaitu aku dan (Pak) Ahmad Tohari berasal dari satu kabupaten yang sama, Banyumas. Bagiku sendiri, itu menjadi pemicu untuk membuat cerita fiksi yang tidak-melulu-soal-cinta-yang-katanya-menye-menye.

Terakhir, novel Merindu Baginda Nabi yang terasa sekali religiusitasnya dari pemilihan judulnya, setting tempat, dan ide ceritanya sendiri. Apalagi jika melihat siapa penulis novel ini, yaitu Habiburrahman El-Shirazy a.k.a. Kang Abik, yang sudah banyak menerbitkan novel religi. Membaca novel ini pun terasa sekali bagaimana bagusnya pemahaman agama sang penulis. Apalagi Kang Abik sering mengisi kajian keislaman.

Kalau diperhatikan lagi, ketiga novel tersebut merupakan novel religi dengan gaya kepenulisan yang berbeda-beda. Novel Merindu Baginda Nabi sudah terlihat dari setting tempatnya. Novel Kubah, meski tidak berlatar kehidupan pesantren, ternyata memiliki sisi religinya. Terlihat dari bagaimana Karman menemukan kembali Tuhan yang terasa hilang akibat doktrinisasi dari orang-orang PKI. Pun novel Pukat yang sarat dengan nilai-nilai keislaman yang terlihat dari bagaimana interaksi dan pengasuhan keluarga Pukat, dan masyarakat di kampung tersebut. Dari novel Kubah dan novel Pukat sebenarnya dapat terlihat bahwa untuk membuat novel religi, novel islami, tidak harus selalu berlatar belakang pesantren atau sekolah islam. Namun, ketiga novel itu memang bagus dan memiliki kelebihannya masing-masing. Pun memiliki nilai-nilai yang dibawa sang penulis.

No comments:

Powered by Blogger.