Misteri Sebuah Rekening Koran

Saturday, January 23, 2016
Ini kali kedua sebuah rekening koran datang ke ruang sekretariat kami. Dua bulan terakhir ini pak pos memang sering ke sini dibanding bulan-bulan sebelumnya. Selalu mengantar dokumen yang sama, sebuah rekening koran.
“Rekening koran lagi?” Dzini, Pimpinan Umum Badan Pers Penerbitan Mahasiswa ini bertanya padaku ketika aku telah menerima rekening koran. 
“Ya.” Aku mengangguk mantap. Mataku langsung tertuju pada rekening koran itu, perlahan mulai membuka isinya. Kubentangkan dokumen itu, nama rekeningnya jelas nama BPPM kami. Kuamati lagi, nominalnya sudah berkurang lima ribu dari rekening koran pertama.
“Kira-kira buku tabungannya dipegang siapa ya? Lumayan banget nominalnya.” Aku bertanya bingung kepada semua pengurus harian. Entah pertanyaan itu sebenarnya harus kutujukan untuk siapa. Hening, Dzini dan pengurus harian lainnya hanya menggeleng saat aku bertanya.
Sepulang rapat pengurus harian, di sepanjang jalan aku masih terus memikirkan rekening koran itu. Aku mendengus kesal karena bendahara tahun sebelumnya tidak memberikan dokumen apapun padaku, termasuk sebuah buku tabungan atas nama BPPM kami. Kurebahkan diri ke kasur begitu sampai kamar kos. Kubuka lagi rekening koran itu. Rasanya rekening koran ini begitu memusingkan, nominal yang tertera di rekening koran begitu menggiurkan. Hampir satu juta rupiah, nominal yang sangat besar. Terlebih bagi BPPM kami yang sedang kekurangan iklan, dan perlu banyak suntikan dana agar tetap bisa mencetak buletin bulanan.
Ting ting. Ponselku berdering. Sebuah pesan datang, dari Dzini.
“Rim, jangan lupa tanya ke mba Meda ya tentang rekening koran itu. Siapa tahu mba Meda tahu, atau tanya ke pengurus lainnya. Atau tanya ke pengurus sebelum kepengurusannya mba Meda. Besok, sebelum kuliah aku temani ke bank.”
Dzini, pimpinan kami memang begitu, mau mengorbankan dirinya jika itu berkaitan dengan urusan BPPM kami. Termasuk urusan rekening koran ini.
“Oke,” kubalas sekenanya. Lalu kubuka Whatsapp, kucari nama mba Meda di kontakku. Ketemu, langsung kukirim pesan panjang mengenai kronologi rekening koran itu lalu bertanya mengenai buku tabungan atas nama BPPM kami.
Satu menit kemudian satu notifikasi datang. Dari mba Meda. Namun, aku harus menelan kekecewaan karena mba Meda tidak tahu-menahu mengenai buku tabungan itu, apalagi rekening korannya. Pertanyaan yang sama aku lemparkan ke pimpinan umum sebelum kepengurusan sebelumnya. Nihil, sama seperti mba Meda, dia pun tidak tahu-menahu mengenai buku tabungan itu. Lalu dia memintaku untuk menghubungi bendahara di tahun kepengurusannya. Aku menurut, segera bertanya ke bendahara kepengurusan dua tahun sebelumnya. Lagi dan lagi, hasil yang kudapat sama. Aku harus menelan kekecewaan untuk kesekian kalinya. Aku menyerah lalu segera memberikan laporan pada Dzini.
“Hmmm, gimana ya? Kayaknya emang harus tanya langsung ke bank, Rim. Sayang juga uangnya, nominalnya besar banget, sangat bermanfaat untuk menambah pemasukan kas BPPM kita.”
“Baiklah, besok temani aku, ya? Hehe.”
“Oke,” jawab Dzini.
Hari Selasa, di sela pergantian kuliah kami, aku dan Dzini pergi ke bank yang mengirimkan rekening koran itu. Kami mengambil nomor antrian customer service, duduk di sebuah kursi panjang bersama nasabah lain.
Jarum jam terus berdetak, duapuluh menit lagi kuliah selanjutnya akan segera dimulai. Namun, nomor antrian kami belum juga dipanggil. Jantungku berdetak lebih cepat, aku begitu khawatir. Takut terlambat kuliah.
 “216.” Tepat tigabelas menit sebelum kuliah dimulai, sebelum kami menyerah dan segera ke kampus. Segera kami menghampiri customer service nomor 3 itu. Seorang laki-laki berparas tampan, yang kuduga belum berusia tigapuluh tahun tersenyum ramah kepada kami. Setelah kami duduk, segera kukeluarkan dua buah rekening koran dari dalam tas dan segera kusodorkan ke petugas.
“Maksud rekening koran ini apa ya mas?” tanyaku begitu polos.
Petugas itu menatap rekening koran yang kuberikan, mengamati setiap kata yang tertera.
“Jadi begini, dari bank kami memang ada fasilitas mengirimkan rekening koran tiap bulannya pada semua organisasi yang menjadi nasabah kami.”
Aku terpesona pada setiap kata yang petugas itu lontarkan. “Lalu mas? Kira-kira buku tabungan itu dibuka kapan ya?” tanyaku lagi.
“Saya cek dulu ya.” Sedetik kemudian tangannya sudah lincah memainkan keyboard dan mouse, membuka database. Aku menatap takzim. Detik berikutnya petugas itu sudah kembali ke kursinya, menghampiri kami.
“Dari data yang kami punya, rekening ini dibuka bulan Maret 2010, sementara transaksi terakhir dilakukan September 2013. Nominal yang ada di buku tabungan sekarang sama dengan yang tertera dalam rekening koran ini.” Petugas itu tersenyum simpul mengakhiri penjelasannya.
“Kira-kira uangnya bisa diambil gak ya?” tanyaku polos, mataku berbinar, mengharap jawaban ‘ya’ dari sang petugas.
“Bisa, kalau ada buku tabungannya dan harus diambil oleh orang yang membuka rekening ini.”
Aku dan Dzini saling berpandangan. Bagaimana ini? tanya kami dalam diam.
“Kalau buka rekening baru, bisa gak ya nomor rekeningnya sama jadi uangnya bisa diambil pake rekening baru itu?” Kini giliran Dzini yang bertanya.
“Bisa saja, tapi harus ada SK organisasi bersangkutan yang berisi nama pengurus yang sedang menjabat, dan siapa yang akan bertanggung jawab dengan rekening itu. Agak ribet dan panjang juga mba.”
Kami kembali berpandangan. Aku menangkap rasa keengganan yang tersirat dari wajah Dzini. Keengganan untuk membuka rekening baru karena prosesnya yang cukup panjang. Lalu kami memutuskan untuk segera pulang karena jarum jam bergerak sangat cepat. Dua menit lagi kuliah akan dimulai.
Di kelas, aku tidak mengindahkan apa yang disampaikan dosen Psikologi Organisasi-ku. Aku masih memikirkan nasib rekening koran serta buku tabungan itu. Sepulang kuliah aku mencoba kembali bertanya kepada kakak angkatanku, bertanya melalui Facebook dan Whatsapp. Setelah mendapat kontak pimpinan umum yang menjabat tahun 2010, aku langsung menghubunginya.
“Hai mba Dian,” sapaku.
“Hai juga. Ini siapa ya?”
“Saya Arima, bendahara yang sekarang sedang menjabat. Ini mba Dian pimpinan umum tahun 2010?”
“Oh, iya dek. Ada apa ya?”
Lalu kuceritakan semua kronologi rekening koran itu dan hasil yang aku dan Dzini dapat setelah mendatangi bank. Sebagaimana aku, mba Dian pun begitu kaget dan bingung mengenai rekening koran itu.
Gimana ya dek, rekeningnya emang dibuka pas kepengurusanku. Tapi aku sendiri lupa buku tabungannya udah diserahkan ke bendahara kepengurusan selanjutnya pas Serah Terima Jabatan atau masih dipegang bendahara kepengurusanku.”
Aku sedikit kecewa karena belum mendapat titik terang yang mampu memecahkan misteri rekening koran ini.
“Oh, gitu ya mba. Buku tabungannya berarti ada kemungkinan masih dipegang bendahara kepengurusannya mba?”
“Iya dek, tapi sekarang dia lagi di Jerman. Jadi kemungkinan besar buku tabungannya pun dibawa ke sana.”
Aku sontak kaget. Berteriak cukup kencang di kamar kosku. What? Jerman? Sejauh itu kah aku harus mengambil buku tabungan itu? Bahkan uang transportasi ke Jerman jauh lebih besar dari nominal uang yang ada di buku tabungan itu.  Aku menunduk lemas, tidak tahu harus berbuat apa.
Hari berikutnya, sepulang kuliah aku mampir ke bank yang ada di dekat kampus, mencari tahu prosedur membuka rekening atas nama organisasi. Nihil. Tidak ada jawaban memuaskan yang mereka berikan, bahkan mereka bilang tidak bisa untuk membuka rekening atas nama organisasi. Lebih baik nama pribadi. Aku keluar bank dengan wajah masam. Lagi-lagi aku harus menelan kekecewaan.
“Dzin, aku udah bank yang ada di dekat kampus. Tapi hasilnya nihil, kata mereka kita gak bisa buka rekening pakai nama organisasi,” kataku setibanya di ruang sekretariat BPPM kami, bahkan tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu.
“Kamu ini ngagetin aku aja. Hmmm, lalu gimana ya?”
Diam, hening. Tidak ada keputusan lagi yang kami buat. Entah bagaimana caranya agar kami bisa kembali mendapatkan uang yang ada di buku tabungan itu. Misteri rekening koran serta buku tabungan itu perlahan sirna seiring sibuknya berbagai kegiatan BPPM kami. Sejenak kami melupakan rekening koran dan buku tabungan itu.
Hingga suatu hari, sekitar tiga bulan setelah pengiriman rekening koran kedua. 
Tok, tok, tok.
“Ya?” kataku sembari menghampiri pintu ruang sekretariat BPPM. Perlahan kubuka pintu itu.
Seorang bapak paruh baya, berseragam oranye, bertopi oranye, serta membawa satu tas berisi dokumen tersenyum ramah ke arahku.
“Rekening korannya, mba,” kata sang pengantar surat.
Lagi? gumamku dalam hati. Aku tertegun, setengah tidak percaya. 

No comments:

Powered by Blogger.