Sebuah Notula: Mengulik Sistem Nilai dan Sejarah Ilmu dalam Peradaban Islam

Wednesday, January 16, 2019


Pertemuan ke= 2
Tanggal= 12 Januari 2019
Tema= Sejarah Ilmu dalam Peradaban Islam
Pemateri= Ustadz Anton Ismunanto
Tempat= Teras Dakwah

Kita sudah mengetahui bahwa agama Islam itu agama ilmu. Sampai salah seorang pengarang buku yang dapat mengumpulkan definisi timur mengenai peradaban kita itu sebanyak 120.000 bahasa hingga dia menyimpulkan bahwa Islam itu ya ilmu. Islam is knowledge itself.

Sebelum membahas mengenai sejarah ilmu, lebih dulu kita membahas tentang sistem nilai masyarakat berbudaya ilmu. Ada beberapa sistem nilai yang dianut, di antaranya yaitu:

1. Ilmu itu dicari bukan semata-mata karena mengantarkan kepada kebaikan, tetapi lebih dari itu, ilmu adalah kebaikan itu sendiri. Jadi, ilmu itu bukan dipelajari karena mengantar kepada kebaikan, tetapi ilmu itu sendiri kebaikan. Ilmu, di satu sisi bermakna kata benda, tetapi di sisi lain merupakan kata sifat. Kalau seseorang disifati ilmu itu dia akan mulia. Saking berharganya ilmu, orang bodoh saja merasa bahagia ketika disifati ilmu. Sebaliknya, saking buruknya kebodohan, orang bodoh tidak rela disebut bodoh. Jadi, orang bodoh itu, meski dirinya tahu bodoh, jika disifati ilmu, maka dia bangga.

2. Dalam cara pandang Islam khususnya, ilmu itu mengantar kepada keabadian. Kok bisa? Contohnya, Aristotles, dia meninggal seribu tahun sebelum nabi lahir, sampai sekarang perkataannya masih dikutip. Seolah baru meninggal kemarin sore. Dalam Islam, bukan hanya itu. Contohnya, Imam Syafii yang meninggal sekitar 1200 tahun yang lalu, tetapi perkataannya masih dikutip sampai sekarang. Bahkan kalau kita ingin memahami Alquran, agak sulit melepaskan diri dari cara berpikir yang Beliau ajarkan. Lebih dari itu, ilmu yang bermanfaat termasuk dalam hadits, "apabila ‘anak Adam itu mati, maka terputuslah amalnya, kecuali (amal) dari tiga hal...." Salah satunya yaitu ilmu yang bermanfaat. Contoh lainnya yaitu Imam Nawawi. Pahala yang Imam Nawawi dapatkan hanya dari Arbain Nawawiyah itu begitu banyak. Padahal, jika buku tersebut dipindah ke kertas folio, panjangnya mungkin tidak lebih dari dua lembar. Bahkan India saja yang mazhab fikihnya Hanafi, akidahnya At-Tirmidzi, mereka belajar hadits tetap dari Arbain Nawawiyah. Padahal arbain jumlahnya begitu banyak.

3. Khususnya dalam cara pandang Islam, ilmu itu dicari dan dikembangkan secara berterusan, sepanjang zaman. Ketika kita belajar ilmu agama, akan semakin baik jika mendapatkan guru yang berterusan belajarnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Kalau memang ada pengembangan-pengembangan dalam persoalan ijtihadiyah, itu tidak dapat serta merta mengaku itu penemuan saya. Sebab, dalam Islam tidak ada copyright, hak cipta. Saking tidak adanya hak cipta, semua buku punya hak untuk di-copy sesukanya. Dalam Islam, tidak ada ulama yang mengklaim. Bahkan banyak buku yang baru diketahui penulisnya, ketika dia telah meninggal. Itupun karena muridnya mengajarkan apa yang di buku tersebut. Jadi, kemasygulan itu didapatkan setelah meninggal.

Kita selalu tahu bahwa mentalitas orang Islam dalam mencari ilmu itu ingin tahu bahwa dia hanya melanjutkan estafet keilmuan dari guru-gurunya. Tidak dapat kita mengklaim bahwa kita yang menemukan. Sekuler-sekulernya orang di barat, kita belum pernah mendengar pertanyaan Newton dengan prestasi keilmuannya. Dia justru mengatakan, "Saya berdiri di pundak raksasa." Sebuah kalimat yang sebetulnya ambigu. Siapa yang dimaksud dengan raksasa? Ilmuwan-ilmuwan di dunia Islam sebetulnya. Namun, sekuler-sekulernya Newton, dia sadar bahwa dia tidak muncul begitu saja dengan menciptakan sesuatu yang baru. Padahal kalau kita lihat dari penemuannya Newton itu adanya lompatan-lompatan yang membedakan sains Barat dengan sains Islam. Dia membuat proses matematika terhadap proses pernyataan-pernyataan para ulama Islam klasik. Jadi, bahasa-bahasa pernyataan itu diubah menjadi bahasa matematika semua. Makanya, peradaban Barat itu sangat kuantitatif dan umat Islam belum mampu melakukannya. Hal itu membuat mereka sangat materialistik dan kita sangat bersyukur dengan kemampuan kuantitatif kita yang dibangun di atas wahyu. Akan tetapi, di sisi lain, ada hal-hal yang membutuhkan ilmu-ilmu yng Barat yang kuantitatif tersebut.

4. Bagi orang-orang, yang namanya belajar itu dari buaian sampai kuburan. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa muridnya 4.000, yang mencatat pelajarannya 500, sisanya belajar adab Beliau. Cara Beliau berdiri, cara Beliau duduk, dan sebagainya. Meski murid yang begitu banyak, Beliau masih suka mencatat. Sampai ada yang menanyakan, "Mau sampai kapan?" Beliau menjawab, "Sampai meninggal." Contoh lain, Ibnu Haysam, salah satu ulama yang sangat berpengaruh bagi peradaban Islam itu sudah mau sakaratul maut didatangi salah seorang teman yang ahli fala. Ibnu Haysam bertanya, "Tolong jelaskan aku mengenai sebuah persoalan." Temannya menjawab, "Kamu sudah sakaratul maut, loh." Jawabannya Ibnu Haysam bagaimana? "Aku tidak mau mati dalam kondisi tidak tahu persoalan itu." Setelah dijelaskan, Ibnu Haysam meninggal. Kejadian seperti itu, tidak hanya terjadi pada Ibnu Haysam, tetapi juga pada beberapa ulama yang lain.

5. Kepemimpinan dibangun di atas ilmu, bukan di atas citra. Ada sesuatu yang hilang dari kita, masyarakat Islam ketika ilmu diabaikan. Pemimpin yang jahil lahir dari masyarakat yang jahil. Namun, itu refleksi untuk kita. Sebagai muslimin, kita harus paham bahwa kita itu dalam kondisi yang tidak baik. Dan kepemimpinan dibangun di atas ilmu. Memang, kelebihan umara itu menggabungkan ilmu dan amal dalam dirinya. Sementara ulama itu lebih tinggi ilmunya dibanding amalnya. Bukan berarti mengabaikan. Kelebihan umara lainnya dibanding ulama itu ilmunya tidak sangat tinggi, tetapi amalnya dapat meliputi banyak hal. Makanya, umara yang berilmu, dia akan dekat dengan ulama. Lalu, ulama yang benar-benar bertakwa itu dia akan mendahulukan umara, orang yang menggabungkan ilmu dan amal. Makanya, ketika Muhammad Al-Fatih salat Jumat, dia bertanya kepada guru-gurunya siapa yang akan menjadi imam, tetapi gurunya tidak ada yang maju. Sebab, dia menggabungkan ilmu dengan amal. Sementara guru-gurunya ilmunya sangat tinggi, tetapi amalnya hanya sebatas pada amal-amal keulamaan. Contoh lainnya yaitu Shalahuddin Al-Ayyubi yang seorang sultan dan ulama. Jadi, ulama katakan amalnya adalah belajar, ibadah, dan mengajar. Kalau umara itu belajar, beribadah, beramal (tetapi yang berkaitan dengan politik dan sebagainya).

6. Syuro. Bukan sekadar berkumpulnya orang-orang, kemudian ada pemimpin yang mengatakan, "kamu harus begini, kamu harus begini." Selama ini kita menganggap syuro isinya adalah perintah dari pimpinan kepada bawahan. Syuro itu majelis orang berilmu. Mereka datang, berbicara, menyampaikan ilmunya kemudian menyepakati apa yang menjadi masalah dan solusinya. Itulah majelis syuro. Dulu ketika nabi ada masalah, Beliau panggil Abu Bakar. Begitupun ketika Abu Bakar ada masalah, Beliau panggil Abu Darda. Ketika Umar bin Khattab mau meninggal, Beliau kumpulkan yang tersisa dari orang-orang dijamin masuk surga. Nanti ketika Utsman bin Affan, Beliau dipilih (menjadi khalifah) dari orang-orang yang terpilih. Kenapa Utsman dipilih? Karena ilmunya.

Di antara sistem nilai masyarakat berbudaya ilmu, perempuan itu diakui keberadaannya, tidak diabaikan. Meskipun ada batas-batasnya. Namun, perempuan itu dimuliakan berkaitan dengan peran-peran yang memang diizinkan. Termasuk di dalamnya adalah ilmu. Seperti anak perempuan Said bin Musayam yang dinikahkan dengan murid sang ayah. Suatu hari, ketika sang suami akan pergi ke kota untuk belajar, dia mencegah sang suami untuk pergi. Lalu mengajak sang suami untuk diajarinya. Ternyata anak perempuan Said bin Musayam itu adalah seorang ulama.

Kalau ditanya, apa otoritas perempuan? Otoritas perempuan itu berada di sirah nabawiyah. Dalam pertemuan ijtima ulama berbagai negara pun yang diadakan di Jakarta, salah seorang mufti terkaget mendengar pembicaraan para ustadz yang membicarakan sekolah sirah. "Kok ada sekolah sirah? Kok sirah diajarkan?" Para ustadz menjawab, "Iya, memangnya di sana bagaimana Syekh?" Sang mufti mengatakan, "Yang namanya sirah itu sudah tuntas di tangan perempuan (ibu). Ketika anak-anak sedang bermain, ibunya itu menceritakan sirah dari awal hingga selesai." Alhamdulillah, di dunia ini, yang Islamnya kuat, ulama perempuan itu banyak. Seperti doktorah di bidang akidah dan rektor UIN Jakarta. Kalau ilmunya seperti ini, perempuan harus terlibat. Jadi, kita harus melihat mekanisme yang harus diangkat kembali. Alqurannya sejauh apa, di mana, dan bagaimana.

7. Sifat hormat kritis. Semua orang, selain Nabi Muhammad SAW, bisa dikritik, bisa diterima pendapatnya. Tidak ada cerita semua orang batil atau semua orang diterima pendapatnya. Tidak bisa. Semua orang, selain Nabi Muhammad SAW, bisa diterima, bisa ditolak. Meskipun menerima dan menolak itu ada mekanisme keilmuannya juga. Tidak tepat juga dikatakan, "ambil baiknya, buang buruknya." Pernyataan itu kita pahami kalau bermaksud baik. Namun, tidak semua orang, khususnya para pembelajar di tingkat awal mampu melakukan hal itu, yang dinamakan dengan ta'sil. Membangun pondasi dari awal.

Lalu bagaimana dengan penerapan budaya ilmu? Ketika masyarakat berbudaya ilmu  falsafah peradabannya dibangun di atas ilmu dan ilmu menjadi sesuatu yang mulia serta diutamakan. Lalu, turunannya bagaimana? Kalau sebuah bangsa yang besar mencintai ilmu, maka tokoh utama yang paling sering disorot adalah ulama dan guru. Bukan artis atau politisi. Namun, ulama/ilmuwan dan guru tidak boleh diletakkan di menara gading, mereka harus didekatkan dengan masyarakat awam.

Dulu, ulama itu kalau membuat forum, pagi itu pesertanya awam, agak siang pesertanya khawas atau sudah paham, yang sulit-sulit. Gampangnya, jam 7 itu S1, jam 9 itu S2, jam 11 itu S3. Orangnya sama, tidak pindah. Namun, menariknya, ketika pelajaran S1, yang S3 ikut belajar. Tidak merasa "wah, saya kan sudah S3." Kalau kita pasti tidak begitu. Makanya, ulama itu harus didekatkan.

Ketika masyarakat sudah terbiasa dengan ilmu, maka kualitas penerbitannya itu sangat baik. Buku-buku yang beredar di masyarakat itu buku-buku terbaik. Salah seorang ulama mengatakan, "jangan membaca banyak buku." Maksudnya bukan tidak boleh banyak membaca buku. Namun, terlalu banyak membaca buku yang bukan babon, akan membuat capaian ilmu kita itu terbatas. Pun ketika dia membaca buku babon, tetapi dirinya belum siap, juga bermasalah.

Seperti di acara IYS kemarin, Ustadz Ridwan Hamidi mengatakan bahwa terjemahan Ibnu Katsir saja bukan untuk orang awam. Apalagi ketika kita tidak memiliki background tafsir Islam, membaca buku tersebut pasti akan bingung. Terlebih ketika membaca Fathul Bari. Terjemahan itu sebetulnya banyak membantu, tetapi di sisi lain membuat dirinya seperti ulama. Semua ada step-nya, ada langkahnya. Akan tetapi, kita harus bersyukur bahwa sekurang-kurangnya, peradaban kita itu masih menyisakan buku-buku terbaik.

Saat ini, media itu berperan penting untuk mendekatkan ilmuwan dengan masyarakat awam. Sayangnya, sekarang banyak orang yang ingin menjadi artis.  Obsesi pertama orang tua sekarang kalau punya anak itu ingin anaknya menjadi artis. Ketika menjadi artis, orientasi pertama pasti bukan ingin menjadi artis yang saleh. Ketika dia terbiasa dengan gaya hidup tertentu, job-nya tidak sampai, akhirnya dia melacurkan diri. Seperti yang baru-baru ini terjadi, ada artis yang terlibat dalam perzinahan. Ini yang sebenarnya harus kita pahami.

Pertama, ketika menjadi artis itu menjadi orientasi utama. Kedua, tradisi "lambe turah" kita itu agak berbahaya. Maksudnya, perzinahan itu kan sesuatu yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Kalau memang ingin ditangkap ya ditangkap, bukan diributkan di media sosial. Maka mengeksposnya merupakan perbuatan yang tercela. Apalagi sampai membicarakan pelakunya, itu sama saja gibah. Karena itu perbuatan yang disembunyikan. Termasuk jika kita terlalu lama memandang, maka kita akan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah. Jika kita menganggap lumrah suatu kemunkaran maka kita tidak mengingkari hati. Kalau kita sudah mengingkari hati, maka kita ikut berdosa. Lalu kita sama dengan menghina orang tersebut. Orang-orang saleh zaman dulu mengatakan bahwa penghinaan yang kita lakukan kepada ahli maksiat, maka Allah akan mendekatkan kita dengan maksiat tersebut sebelum kita melakukannya. Makanya, zaman dulu tidak ada ulama yang menghina ulama lainnya meski kebatilannya mentok.

Masyarakat Islam itu masyarakat yang budaya ilmunya sangat kuat. Serta memiliki karakter "greedy of knowledge" yang kuat. Makanya tidak mengherankan jika sahabat itu bukan hanya orang-orang yang semangat berjihad, selalu ibadah, rajin bersedekah, tetapi juga rakus terhadap ilmu. Mereka adalah ulama generasi awal. Itu kenapa juga kita kalau mau mencari kebenaran pendapat agama kita merujuk pada para sahabat nabi. Sebab mereka otoritas pertama dunia Islam setelah Nabi Muhammad SAW. Mereka juga disebut dengan salafus saleh, bukan hanya saleh ahli ibadah, tetapi juga saleh ahli ilmu.

Lalu, bagaimana ilmu berkembang? Nabi Muhammad SAW lahir di sebuah masyarakat Arab. Secara bahasa, arab berarti tanah gersang. Bukan hanya gersang gurun dan air, tetapi juga gersang dari tradisi intelektual, sepi pengetahuan. Nabi dilahirkan dalam kondisi seperti itu. Lalu wahyu diturunkan kepada Beliau melalui beberapa fase, yang paling besar yaitu fase makiyah (diturunkan di Mekah, sebelum hijrah) dan fase madaniyah (diturunkan di Madinah, setelah hijrah). Bahkan beberapa ulama mengatakan bahwa fase makiyah dibagi menjadi dua, fase Mekah awal dan akhir. Bedanya apa? Ayat-ayat yang diturunkan pada fase tersebut memiliki karakteristik masing-masing. Contohnya, fase Mekah awal berbicara tentang kunci-kunci dalam cara pandang kita, seperti Allah sebagai Rabb, alam, penciptaan, manusia, kenyataan. Lalu fase Mekah kedua atau akhir, berbicaranya lebih spesifik tentang kematian, kesalehan, ketakwaan, dan perbincangan mengenai ibadah.

Baru ketika di Madinah, ayat-ayatnya berbicara tentang kemasyarakatan. Namun, orientalis yang "nakal" mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW religius di Mekah, sekuler di Madinah. Padahal tidak begitu. Seorang Kristen Palestina pernah mengatakan bahwa Islam  membahas hal yang paling ibadah (salat) sampai yang paling sekuler (jual-beli) dan semuanya ada di fikih. Kitab fikih itu susunannya hampir selalu sama, dari ibadah sampai muamalah, yang semuanya nyambung. Dalam Islam, semua yang kaffah itu religius. Kita beribadah pun terlibat dalam proses kemasyarakat, seperti zakat yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan serta ibadah haji yang lintas etnis pun kongres kemanusiaan terbesar. Konsep-konsep ini dibawakan Nabi Muhammad SAW tidak hanya secara letterlijk atau literal, yang hanya berdasarkan ayatnya, tetapi juga menjelaskan bagaimana memahaminya, bagaimana menjalaninya. Penjelasan Nabi Muhammad SAW tentang Alquran itu kita sebut sebagai sunah.

Apa itu sunah? Tradisi kenabian yang meliputi perkataan, perbuatan, persetujuan, karakteristik visi, dan karakteristik ibadah. Menariknya, ketika konsep-konsep dalam Alquran itu menjadi kaya dalam konsep-konsep sunah itu, sahabat nabi diizinkan untuk melakukan ijtihad. Secara bahasa, ijtihad yaitu proses intelektual kreatif. Nabi masih hidup saja, proses ijtihad itu boleh dilakukan. Makanya, masyarakat Islam itu bukan hanya patuh kepada nabinya, tetapi juga kreatif dalam menyelesaikan persoalan masyarakat melalui perantara akalnya. Tidak heran jika dalam Islam akal itu sangat dihormati. Sebab, akal itu penting. Jika tidak mempunyai akal, dia tidak akan diberi beban taklid oleh Allah. Lalu, ketika Nabi Muhammad SAW meninggal, otoritas Beliau berakhir. Otoritas selanjutnya jatuh kepada para sahabat. Mereka kemudian mulai membicarakan setiap persoalan dengan Alquran dan sunah.           
 

                   
















 


 






 

No comments:

Powered by Blogger.