Sebuah Notula: Menelisik Tentang Budaya Ilmu dan Peradaban dalam Islam

Monday, January 07, 2019


Pertemuan ke= 1
Tanggal= 5 Januari 2019
Tema= Budaya Ilmu dan Peradaban Perspektif Islam
Pemateri= Ustadz Anton Ismunanto
Tempat= Masjid Jogokariyan 

Tidak ada suatu peradaban yang tidak memiliki budaya ilmu yang baik. Apa itu peradaban? Peradaban adalah kebudayaan yang lebih tinggi. Namun, di antara para ahli mengenai apa itu kebudayaan, apa itu peradaban. Ada yang menganggap keduanya sama. Ada yang menganggap peradaban itu aspek fisiknya, kebudayaan itu aspek idenya.

Hal lain yang membedakan kebudayaan dan peradaban, yaitu anggapan bahwa kebudayaan itu lebih tinggi dari peradaban. Meski di sisi lain ada juga yang menganggap peradaban itu lebih tinggi dari kebudayaan. Dari berbagai pendapat tersebut, ada kesimpulan yang menjadi kesepakatan banyak ahli dan ulama bahwa tidak semua kebudayaan akan berubah menjadi peradaban. Suatu kebudayaan akan berubah menjadi peradaban jika ada budaya ilmu.

Jadi, apa itu budaya ilmu? Ada yang mengatakan bahwa budaya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa. Namun, hal itu membuat kita sulit untuk memahami budaya ilmu. Mudahnya, budaya adalah sistem nilai yang berkembang di sebuah masyarakat. Nantinya hal ini akan menjadi ciri khas. Tidak heran jika hampir semua aspek yang ada di masyarakat itu dipengaruhi oleh budaya, sistem nilai.

Seperti, ada budaya yang orientasi dasarnya adalah materi. Tentang bagaimana mengelola uang sebanyak-banyaknya. Dari sinilah awal mula materialisme tercipta. Ada budaya yang orientasi dasarnya adalah ekonomi. Dari sini awal mula kapitalisme tercipta. Gagasan, ide, kebudayaan yang sistem nilainya berkaitan dengan kapital, modal. Ada budaya populer yang berorientasi pada kesenangan, popularitas, citra, dan sebagainya. Ada juga yang berorientasi pada kekuasaan. Hal ini membuat masyarakatnya cenderung ingin berebut kekuasaan.

Adapun budaya ilmu yang menjadi nilai inti dari masyarakatnya adalah ilmu. Bagi masyarakat yang berbudaya ilmu, ilmu itu termasuk nilai paling tinggi dalam masyarakat, menjadi prioritas. Dengan demikian, aktivitas masyarakatnya berkutat di masalah ilmu. Berkaitan dengan mencatat, mengaji, mengajarkan. Jika sebuah ilmu berkembang pesat dan ditopang oleh orang-orang yang berfokus pada ilmu, maka berkembanglah masyarakat ilmu atau knowledge society. Masyarakat ilmu yaitu masyarakat yang aktivitasnya berkutat pada pengetahuan, mengajarkannya, mengembangkannya, meluruskan yang salah, dan sebagainya. Sementara orang awam (yang mencintai ilmu) sangat suka mendengar, mencatat, belajar. Pun bagi orang yang memiliki kekuasaan dan kekayaan akan menggunakannya untuk kepentingan ilmu.

Budaya ilmu tersebut akan mengubah masyarakat dari kebudayaan rendah menjadi peradaban tinggi. Sebab, ketika ilmu berkembang, maka sistem sosialnya menjadi lebih rapi. Seperti politik menjadi efisien, kesehatan terjamin, rumah sakit tersedia dan berkembang baik, bangunan-bangunan menjadi megah. Contohnya bangsa Arab yang memiliki bangunan-bangunan kokoh dan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu tentang teknik sipil dan arsitekturnya bagus. Namun, terkadang hal itu membuat orang-orang berada pada situasi nyaman yang bisa saja menurunkan kualitas mereka. Karena ketika hidup sudah terasa nyaman, orang-orangnya akan berubah menjadi bermentalitas lemah. Akan tetapi, pada dasarnya budaya ilmu merupakan langkah untuk mencapai peradaban yang tinggi.

Di Indonesia, setiap pulau memiliki budayanya masing-masing. Bahkan setiap daerah yang ada di satu pulau yang sama memiliki budaya yang beda. Masing-masing budaya tersebut akan tampak, mana yang tinggi, mana yang rendah. Pun ada yang memiliki perangkat-perangkat budaya yang lengkap, tetapi ada yang tidak. Namun, hal itu ternyata belum mampu membuat Allah mengantarkan Indonesia ke peradaban yang tinggi. Sementara di negara lain, ada kebudayaan yang berubah menjadi peradaban tinggi.

Peradaban-peradaban itu ada yang sudah runtuh, ada yang pernah runtuh tetapi bangkit kembali, dan ada yang belum pernah runtuh. Seperti Arab, contoh peradaban yang pernah ada tetapi runtuh karena Allah binasakan. Yunani, contoh peradaban yang sudah tidak ada, tetapi sisa-sisanya masih berpengaruh hingga hari ini. Banyak ilmu yang bermula dari negara ini, seperti Filsafat, Matematika, Fisika. Namun, ketika nabi lahir, tempat Yunani berada sudah dikuasai Romawi. Selain itu ada Mesir, contoh peradaban yang pernah besar saat sebelum nabi lahir. Salah satu bentuk peradaban yang terkenal di Mesir, yaitu alkemi atau alkimia, cara mengubah patung menjadi emas, manusia menjadi abadi. Sementara peradaban yang besar saat nabi lahir adalah Romawi dan Persia.

Meski negara-negara yang disebut di atas peradabannya sudah runtuh, tetapi ada dua negara yang peradaban yang sudah ada sejak dulu hingga saat ini. Pertama, India. Di negara ini tercipta dua agama besar, yaitu Hindu dan Budha. Selain itu, Matematika berkembang di negara ini. Kedua, Cina. Banyak penguasa yang ditopang oleh pengusaha Cina. Hal itu merupakan "tradisi" yang sudah ribuan tahun ada di Cina.

Lalu, apakah peradaban Islam juga begitu? Kurang lebih begitu. Peradaban dalam bahasa Arab disebut dengan madaniyah. Namun, ada juga yang menyebut peradaban dengan tamaddun yang berasal dari kata al-madinah (kota). Sementara orang-orang yang tinggal di kota disebut dengan mutamaddin atau civilize. Jadi, agama dalam Islam merupakan asas peradaban. 

Dalam Alquran, beberapa ayat yang menyebutkan kata madinah agak menyalahi pendapat seorang penulis buku tentang negeri sekuler. Contohnya tentang Firaun. Tempat tinggal Firaun di kota Mesir. Maka, orang yang datang ke kota berasal dari tempat yang jauh. Maksudnya datang dari pelosok desa atau kota? Pelosok desa. Namun, ayatnya mengatakan "...وَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ يَسْعَىٰ (Q.S. Al-Qasas ayat 20)," datang dari pelosok kota.

Sementara di ayat lain, Allah sering menyebutkan "Allah binasakan kota-kota," atau dalam Alquran berbunyi "wa ahlakal qoryah". Seringkali kalimat tersebut diterjemahkan menjadi, "Kami hancurkan negeri-negeri." Padahal itu sebetulnya bentuk majas bahwa kota sebesar, sekeren apapun bangunannya, tetapi kalau tidak beragama, Allah menyebutnya dengan "qoryah" atau desa. Sementara orang yang berasal dari sebuah tempat di mana bisa jadi bangunannya tidak besar, kecil-kecil, atau bisa jadi nomaden. Namun, mereka beriman kepada Allah, maka mereka disebut berasal dari "madinah." Jadi, dalam Islam, kota itu asasnya adab. Hal itu menunjukkan bahwa asas peradaban adalah agama. Namun, kita sering mengatakan bahwa asas peradaban adalah ilmu.

Lalu, apa hubungannya Islam dengan konsep kota dan peradabannya yang berasaskan agama, dan kelompok sekuler yang peradabannya berasaskan ilmu?

Islam itu agama ilmu. Tidak mungkin iman tanpa ilmu. Sebab ilmu adalah bagian dari iman dan pohon iman tidak akan mungkin tumbuh sempurna tanpa adanya ilmu. Peradaban dalam agama sejak awal dibangun di atas pondasi ilmu. Dan kita tidak mungkin beragama dengan lebih baik tanpa memperbaiki keilmuan kita tentang agama. Namun, apakah ilmu yang dijadikan asas peradaban itu hanya ilmu-ilmu agama?

Meskipun Islam merupakan agama, tetapi terkadang Islam memiliki pondasi pengetahuan. Pondasinya terdapat dalam wahyu Islam (Alquran dan As-sunnah) yang sejak awal memiliki karakter ilmu. Penjelasannya bagaimana? Kita akan temukan bahwa kata ilmu merupakan kata paling sentral dalam Islam dan dalam diri setiap muslim. Dalam Alquran, kata "ilmu" disebut sebanyak 770-an kali. Sekaligus menjadi kata ketiga terbanyak yang muncul dalam Alquran, setelah kata "Allah" dan "Rabb". Konsep tersentral bagi seorang muslim adalah Allah, sehingga menjadikan Allah sebagai tujuannya. Setelah Allah, baru ilmu. Tidak heran jika kaum orientalis menyebut generasi awal umat Islam dengan karakter greedy of knowledge atau rakus terhadap ilmu. Maka akan salah jika kita memahami bahwa sahabat nabi itu dicirikan dengan akidahnya kuat, ibadahnya banyak, mau ikut perang, akhlaknya mulia. Namun, kita sering luput mencirikan mereka sebagai orang-orang yang rakus terhadap pengetahuan.

Mengenai ilmu, ada sebuah hadist terkenal yang menyebutkan bahwa menuntut ilmu adalah jihad fisabilillah. “Barangsiapa keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali.” (HR Tirmidzi no: 2323, Ibnu Majah no: 4112. At Tirmidzi berkata: ‘Hadits ini hasan gharib’). Saking menjaga ilmu, Abu Darda sampai mengatakan, "Barangsiapa mengatakan bahwa mencari ilmu itu bukan jihad, maka orang itu tidak menggunakan akal." Ada hal menarik dari hadits At-Tirmidzi tersebut, bahwa ada seseorang yang datang dari Madinah ke Damaskus untuk bertemu Abu Darda. Orang tersebut bukan untuk bersilaturahmi, melainkan mengonfirmasi hadits "man salaka thoriqon". Setelah mendapat sebuah jawaban dari Abu Darda, orang tersebut pulang.

Ada kisah lain dari Yahya bin Yahya, salah satu murid Imam Malik yang datang dari Andalusia ke Madinah. Sewaktu   

  






  

No comments:

Powered by Blogger.