Bagaimana Menyusun Kurikulum untuk Anak Usia 0-5 Tahun?

Friday, August 27, 2021



Ahad kemarin, aku berkesempatan mengikuti kajian Bincang Happy Family tentang "Menyusun Kurikulum Anak 0-5 Tahun" yang dibersamai oleh Teh Karina Hakman. Selama mengikuti kajian tersebut, aku merasa sedang diingatkan terus-menerus tentang bagaimana mendidik anak, terutama untuk anak usia 0-5 tahun. Berikut sedikit rangkuman dari kajian tersebut:

I. Apa tujuan pendidikan anak dalam Islam?


1. Agar tidak masuk neraka

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."-Q.S. At-Tahrim ayat 6

Kita mendidik anak bukan untuk menjadikan dia masuk ke universitas favorit, tetapi yang paling utama adalah bagaimana agar dia tidak masuk neraka. Bahkan, yang masuk neraka bukan hanya anaknya, orang tuanya pun bisa ikut masuk neraka. Jadi, jangan sampai mengurus anak membuat kita lupa dengan diri sendiri. Seperti, membuat kita meninggalkan salat, melalaikan kita untuk tidak mengikuti kajian. Sebaliknya, seharusnya dengan adanya anak membuat kita lebih mendekat kepada Allah dan pahala sehingga kita, suami, dan anak-anak kita masuk surga. Namun, sebenarnya Allah tidak memerintahkan kita untuk masuk surga, tetapi agar memelihara keluarga untuk dari api neraka. Apa bedanya? Bedanya, kalau diperintahkan untuk masuk surga, berarti kita bisa mampir dulu ke neraka akibat kemaksiatan yang dilakukan. Sementara, Allah memerintahkan untuk memelihara dari api neraka supaya kita bisa berjalan lurus ke surga, tanpa harus mampir ke neraka.


2. Pemimpin orang-orang bertakwa

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا 

"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa."-Q.S. Al-Furqon ayat 74

Dari ayat tesebut, kita tidak menjadikan diri sendiri atau anak kita menjadi orang yang bertakwa. Lebih jauh lagi kita mendidik anak-anak kita agar menjadi pemimpinnya orang-orang yang bertakwa. Bukan hanya yang terlibat dalam dakwah, tetapi juga yang mengajak orang-orang untuk berdakwah. Ketika ingin anak kita tumbuh menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa, maka salah satu kriteria yang harus terpenuhi adalah memberikan manfaat bagi orang lain. Jadi, bukan hanya saleh sendirian, tetapi juga men-saleh-kan dan memberikan manfaat bagi orang lain. Tidak heran bahwa sangatlah penting orang-orang muslim itu menjadi dokter, psikolog, dan profesi lainnya.


II. Tahapan perkembangan anak dalam Islam

1. 0-5 Tahun

2. Tujuh Tahun (Usia Tamyiz)


“Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan salat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukulah mereka (jika meninggalkannya) saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.”-HR. Abu Daud


Kebanyakan ulama sepakat bahwa pada usia tersebut, seorang anak memasuki usia tamyiz atau mampu membedakan mana yang baik dan buruk, walaupun belum bisa berkomitmen. Pada usia ini juga anak mulai diperintahkan untuk mengerjakan salat. Maka, pada usia lima dan enam tahun itu usia persiapan sehingga harus diisi dengan mengajarkan tentang thaharah (menyucikan dirinya), segera dikhitan, bacaan dan makna salat, paham siapa Allah dan Rasulullah, menghafal surat-surat dalam Alquran.


Mengapa salat begitu penting? Sebab, salat itu bukan hanya ritual, tetapi juga mencegah dari perbuatan munkar. Jadi, ketika anak bisa berkomitmen dengan salat, maka dia diharapkan mampu untuk menjadi pribadi muslim yang baik. Pun dengan salat tersebut dapat menjadi benteng ketika dia bertemu dengan temannya yang tidak baik.


3. Sepuluh Tahun


“Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan salat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukulah mereka (jika meninggalkannya) saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.”-HR. Abu Daud


Membaca sekilas hadits tersebut, mungkin kita akan serta-merta menangkap bahwa dibolehkan memukul anak kita yang telah berusia sepuluh tahun ketika dia tidak mau salat. Padahal, sebelum memukul anak, kita harus merinci terlebih dahulu apa saja yang telah dilakukan agar anak mau untuk salat. Apakah kita sudah memberikan keteladan? Apakah hubungan kita dengan anak itu baik? Apakah kita sudah memberikan pemahaman dan membiasakan? Apakah kita sudah memberikan teman-teman yang baik? Sebab, ketika anak dididik dengan baik, usia sepuluh tahun, urusan salat akan beres sehingga urusan yang lain pun akan beres.


4. Pascabaligh


Ketika anak sudah memasuki masa baligh, dia sudah dibebankan amalnya. Jika beramal baik, maka diberikan pahala. Sementara jika beramal buruk, maka diberikan dosa. Pada zaman kenabian dan kekhalifahan, anak-anak yang memasuki masa baligh sudah mulai dilibatkan dalam pemerintahan, peperangan, dan lainnya. Seperti Muhammad Al-Fatih yang sejak usia belasan sudah "magang" di pemerintahan. Pun, Nabi Muhammad shalallahu 'alaihiwasallam, pada usia belasan sudah ikut dalam perdagangan dan berbagai kegiatan bersama pamannya.


Tidak mengherankan jika Muhammad Al-Fatih, Nabi Muhammad shalallahu 'alaihiwasallam, dan lainnya, tumbuh menjadi sosok yang emosi dan pemahamannya matang. Berbeda halnya dengan generasi sekarang yang setelah lulus kuliah bingung mau jadi apa. Maka, dalam Islam, tolak ukurnya bukan usia, tetapi baligh. Sebab, ketika anak memasuki usia baligh, dia diharapkan mampu untuk membedakan mana yang baik dan buruk, memiliki pemahaman tentang Islam dan iman, serta tahu tugasnya agar bermanfaat bagi masyarakat.


5. Menikah


Kebanyakan orang menganggap, tugas orang tua dalam mendidik anak itu sudah selesai ketika anak telah menikah. Padahal, dalam Islam, setelah anak menikah, orang tua tetap mempunyai tanggung jawab untuk mendidik anak, meski caranya berbeda dengan sebelum anak menikah. Seperti Nabi Muhammad shalallahu 'alaihiwasallam yang masih memberikan nasehat kepada Fatimah meski telah menikah dengan Ali bin Abi Thalib. Maka bersyukurlah ketika "dicerewetin" orang tua dan mertua.


III. Apa saja yang perlu diajarkan kepada anak usia 0-5 tahun?

1. Agama

Pertama, tauhid. Seorang anak harus tahu dulu bahwa Tuhannya itu Allah. Kita sudah mulai bisa mengajarkan tauhid sejak anak masih dalam kandungan. Setelah anak lahir, kita mengajarkan tauhid melalui bagaimana kita berbicara tentang Allah, bagaimana kita selalu melibatkan Allah dalam aktivitas kehidupan kita. Maka dari itu, yang pertama belajar tentang tauhid dan akidah itu kita, orang tuanya. Kita belajar tentang asma-asma Allah lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan.


Salah satu contoh mengajarkan tauhid yaitu ketika akan makan bersama dengan lauk seadanya. Lalu kita bisa mengatakan bahwa makanan tersebut berasal dari Allah sehingga harus disyukuri. Kemudian, ketika anak mengeluhkan lauk yang sama, kita bisa mengatakan bahwa Nabi Muhammad shalallahu 'alaihiwasallam tidak pernah mengeluhkan makanan. Dari pembicaraan ringan tersebut, kita bisa menyelipkan nilai-nilai ketauhidan.


Kedua, Alquran. Mengajarkan Alquran kepada anak tidak harus menunggu dia bisa berbicara, tetapi bisa dimulai sejak dia masih dalam kandungan. Melalui tilawah yang kita bacakan selama masa kehamilan. Lalu ketika anak lahir, dia akan melihat interaksi orang tua, kakak-kakaknya, dan keluarga lainnya dengan Alquran.


Ketika anak melihat kita dengan Alquran, maka dia ingin dekat juga dengan Alquran. Ketika kita sedang membaca Alquran, dia ikut duduk di samping kita. Bahkan seringkali ingin mengambil Alquran yang sedang kita baca, sampai-sampai ada halaman yang tersobek. Setelah mengetahui anak sudah mulai tertarik dengan Alquran, maka tinggal kita fasilitasi. Alquran tidak hanya tentang tilawah dan hafalan, tetapi juga tafsir dan tadabbur. Biasanya ketika anak memasuki usia 4-5 tahun, dia mulai bertanya tentang makna surat tertentu.


Ketiga, siroh. Ketika Saad bin Abi Waqqash ditanya apa yang diajarkan para sahabat kepada anak-anak mereka, dia menjawab bahwa mereka mengajarkan tentang sejarah Nabi Muhammad shalallahu 'alaihiwasallam. Kenapa penting untuk diperkenalkan tentang Nabi Muhammad shalallahu 'alaihiwasallam? Sebab, usia tujuh tahun anak sudah diperintahkan untuk salat, yang mana salat tersebut mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shalallahu 'alaihiwasallam. Maka, kita mengenalkan tentang Nabi Muhammad shalallahu 'alaihiwasallam dalam setiap aktivitas kita.


Sayangnya, kebanyakan dari kita cenderung memperkenalkan tokoh fiktif seperti Disney. Padahal, manusia memiliki kecenderungan untuk meniru dari apa yang dilihat dan didengar. Maka, perkenanlah tentang Nabi Muhammad shalallahu 'alaihiwasallam kepada anak kita. Mulai dari kesehariannya, akhlaknya, sunahnya, setelahnya baru diperkenalkan tentang perang-perang yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shalallahu 'alaihiwasallam. Betapa banyak yang harus kita perkenalkan tentang Nabi Muhammad shalallahu 'alaihiwasallam kepada anak, maka seharusnya kita lebih dahulu mempelajari siroh.


Keempat, ibadah, terutama yang berkaitan dengan persiapan salat. Usia 0-5 tahun kita mulai mempersiapkan anak untuk salat. Caranya dengan memberikan keteladanan sehingga anak mulai tertarik dengan salat. Anak kita sudah bisa menirukan setiap gerakan dan bacaan kita, meskipun belum 100% benar. Pun sudah mulai tertarik untuk ikut salat berjamaah di masjid. Setelah itu, ketika anak sudah memasuki usia 5-6 tahun, kita tinggal merapikan gerakan dan bacaan salatnya.


Kelima, akhlak. Ketika kita mengajarkan anak untuk tidak marah-marah, maka kita pun harus mencontohkannya. Sebab, anak kita akan belajar dari apa yang dilihat.


2. Lifeskill


a. Kemandirian sebagai seorang manusia. Seperti mandi, pakai baju, dan makan sendiri. Sebab, secara fitrah, seorang anak memiliki keinginan untuk belajar. Mulai dari belajar tengkurap, merangkak, berjalan, memegang pensil, hingga memakai kaos kaki sendiri. Namun, agar anak bisa mandiri itu membutuhkan proses yang cukup lama. Sayangnya, seringkali kita yang kurang sabar ketika anak kita sedang belajar mandiri. Seperti ketika akan pergi ke suatu tempat, kita menyuruh anak untuk memakai kaos kaki dengan cepat, padahal anak sedang belajar. Setelah tahu seperti itu, maka kita berikan waktu yang lebih untuk persiapan sebelum berangkat. Jadi, hargai dan fasilitasi anak kita untuk mandiri.


b. Kemandirian untuk bersuci. Toilet training merupakan salah satu cara untuk belajar bersuci sehingga mampu mengantarkan kepada ibadah yang paripurna. Selain itu, setelah anak tertarik dengan salat, maka dia pun akan tertarik dengan wudhu. Namun, mengajarkan wudhu secara bertahap, yaitu dengan mengajarkan bahwa sebelum kita itu harus wudhu lebih dahulu, pun sebelum membaca Alquran disunahkan untuk berwudhu.


c. Belajar yang mencakup beberapa hal. Pertama, bagaimana anak berkreasi, mengelola sesuatu  sehingga bisa menghasilkan sesuatu yang lain. Seperti menyusun balok. Kedua, membaca. Pada usia 0-5 tahun, kita bisa memaksa atau menyuruh anak melakukan sesuatu, termasuk membaca. Namun, kita dapat mengajarkannya dengan cara memfasilitasinya. Ketiga, berhitung.


3. Fisik dan Kesehatan


Mengapa hal ini penting? Karena dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, makanan harus yang sehat dan tidak boleh sembarangan. Jika tidak ingin anak makan makanan yang tidak sehat, maka kita jangan memperkenalkannya. Kedua, gerak. Pada usia 0-5 tahun, anak memiliki aktivitas motorik yang luar biasa.


IV. Metode yang bisa dilakukan untuk anak usia 0-5 tahun


1. Keteladanan


Keteladanan ini tidak hanya dilakukan setelah punya anak, tetapi juga dilakukan sebelum menikah sebagai sarana latihan. Maka, dari sebelum menikah perbaiki diri sehingga menjadi individu yang lebih baik lagi. Lalu setelah menikah dan punya anak, kita menjadi contoh bagi anak. Seperti ketika kita menyapa tukang sampah, maka anak pun ikut menyapanya. Anak adalah cerminan diri kita. Jadi, jika ingin menjadikan anak kita berakhlak seperti apa, maka kitalah yang memulainya.


2. Hubungan yang dekat


Sesibuk apapun dan sesaleh apapun kita, jika jarang bertemu dengan anak, maka bagaimana anak bisa mengidolakan kita. Sesibuk apapun kita, sekalipun untuk berdakwah, tetapi jangan membuat kita lupa bahwa berdakwah kepada keluarga itu yang prioritas. Namun, hubungan yang dekat tidak selalu dengan banyaknya waktu yang diberikan. Seperti halnya Nabi Ibrahim alaihissalam yang harus jauh dengan anak dan istrinya, tetapi dia mampu mendidik anaknya dengan baik, bahkan bisa menjadi nabi juga.


3. Pembiasaan


Pada usia 0-2 tahun, anak meniru semua aktivitas yang kita lakukan. Lalu ketika masuk usia 3 tahun dan lancar berbicara, anak sudah bisa diarahkan untuk melakukan aktivitas yang seperti kita pinta. Maka, sejak usia 0-2 tahun seorang anak diberikan aktivitas yang rutin, seperti makan dan tidur pada waktu yang rutin. Dalam Islam, aktivitas rutin yang dilakukan yaitu salat. Selain itu, kita juga membiasakan anak untuk melakukan sesuatu dimulai dari tangan atau kaki kanan.


4. Pemahaman


Pembiasaan tidak cukup karena pada usia 5-6 tahun anak sudah mulai bermain dengan teman sebayanya. Maka, kita perlu memberikan pemahaman kepada anak untuk melakukan sesuatu karena Allah. Caranya melalui perbincangan dalam keluarga, buku, sekolah, dan lainnya.


V. Hal-hal yang harus dihindari


Hal-hal yang harus dihindari dalam mendidik anak adalah kemaksiatan dan kelalaian. Kita, orang tuanya yang harus dihindarkan dari kemaksiatan dan kelalaian. Sementara anak dihindarkan dari distraksinya. Seperti memberikan gawai sehingga membuat anak melakukan perbuatan sia-sia dan adiksi. Jika anak telah adiksi gawai, maka fitrah belajarnya akan rusak sehingga anak malas untuk belajar. Selain itu, sebelum memberikan gawai, harus perhatikan dahulu usia anak kita.

No comments:

Powered by Blogger.