Bermain Werewolf

Saturday, September 17, 2016

“Kamu lagi ngapain?” tanya temanku ketika aku tengah asyik memainkan ponselku.
“Main werewolf,” kataku tanpa memandang ke arahnya. Dia diam, tidak berkata apa-apa lagi.
Keesokan harinya.
“Minta nomermu dong,” tanyanya tiba-tiba.
“Ngapain?”
“Aku baru download Telegram. Mau bikin grup biar bisa main Werewolf juga.” Aku menatapnya datar. Mendikte nomorku.
Tidak berselang lama ponselku berdering. Satu notifikasi Telegram. Grup baru. Entah grup apa. Sejenak aku tertegun sebelum akhirnya kubuka juga karena penasaran.
Hanya beberapa menit grup itu pun genap 12 member. Terdiri dari aku, 3 teman sub unitku, dan sisanya dari sub unit lain. Detik selanjutnya salah seorang temanku mengirim pesan ’/joinwerewolfbot’. Aku dan 3 teman sub unitku, serta satu teman sub unut lain segera membalas dengan pesan serupa. Tujuh orang lainnya ternyata sedang offline. Permainan pun akan segera dimulai karena telah genap 6 pemain.
***
Werewolf Moderator pun mengirim pesan, narasi cerita tentang sebuah desa yang diserang oleh werewolf. Mereka beramai-ramai membawa obor untuk membunuh sang werewolf.
“Kamu pasti kan werewolf-nya?” Temanku yang paling berisik, yang berada di sampingku bertanya.
Aku menggeleng cepat.
“Udah ngaku, pasti kamu.” Kedua temanku yang lain ikut menimpali. Membuat kamar atas pondokan begitu gaduh oleh suara kami.
“Kalian berisik banget sih.” Kami seketika menoleh. Kaget mendengar suara temanku yang perempuan yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu.
“Ayo, sini, main werewolf. Kamu punya Telegram gak?” Temanku yang paling berisik bertanya pada temanku yang perempuan. Dia dengan segera menggelengkan kepalanya.
Temanku yang paling berisik mendengus. Lalu kembali menatap layar ponsel. Kami kembali saling tuduh siapa yang menjadi werewolf. Dan empat orang temanku serempak menuduhku. Bahkan 6 teman lainnya yang baru muncul setelah permainan dimulai juga serempak menuduhku.
Aku menyergah tuduhan mereka. Mengaku kalau aku bukan werewolf. Namun, mereka tetap menuduhku. Dan sepakat untuk ‘mengobongku’. Akhirnya aku kalah, tidak bisa bermain lagi. Mereka pun mengirim pesan dan sticker karena kecewa tebakan mereka salah. Ditambah lagi aku hanyalah villager. Aku mendengus kesal pada tiga teman sub unitku. Mereka justru tertawa. Namun sedikit kesal juga. Lalu kujulurkan lidahku. “Tuh, kan, bukan aku werewolf-nya.”
Satu per satu pemain tumbang, hanya menyisakan tiga orang. Dua teman sub unitku dan temanku yang ada di sub unit lain. Permainan pun terasa cukup alot karena mereka tidak sepakat menuduh siapa yang menjadi werwolf.
Beberapa belas menit selanjutnya permainan selesai. Dan dimenangkan oleh werewolf. Seketika aku pun kaget karena temanku yang paling berisik, yang pertama menuduhku ternyata dia sendiri yang menjadi werewolf.
Aku kembali mendengus kesal. “Ternyata kamu yang jadi werewolf-nya.”
Dia cekikikan. Lalu mengaum seperti serigala. “Auuuuu!” Namun, detik selanjutnya dia mengaduh kesakitan karena dua temanku berhasil menimpuk badan dan kepalanya dengan bantal. Gantian dia yang mendengus kesal karena merasa disiksa.
***
#MalamNarasi

No comments:

Powered by Blogger.