Terjebak

Saturday, March 12, 2016
Klik. Kutekan tombol angka 6 di sisi kanan pintu lift. Lantai enam, lantai paling atas di gedung fakultasku. Gedung yang baru diresmikan awal tahun lalu saat Dies Natalis Fakultas. Kulihat angka yang tertera di sisi atas lift. Lima, empat, tiga, dua, satu. Cekrek. Perlahan pintu itu terbuka. Kosong, tidak ada seorang pun yang turun ke lantai 1. Tanpa ragu, sambil tetap memainkan ponsel, aku pun masuk ke dalam lift. Tidak berselang lama seseorang masuk ke dalam lift. Kuangkat kepalaku untuk melihat siapa seseorang itu.
Deg. Aku terdiam sejenak. Mataku membuka lebar, binar mataku saat melihatnya tidak mampu kututupi. Fedi, nama laki-laki itu, kakak angkatan. Berperawakan tinggi-kurus, berkulit sawo matang, lesung pipinya tidak bisa ditutupi saat dia tersenyum. Seorang mahasiswa berprestasi, aktif di beberapa organisasi dan mendirikan beberapa komunitas sosial. Sosok lelaki yang dikagumi banyak perempuan, terlebih oleh teman seangkatanku, termasuk olehku.
Fedi menganggukan kepalanya, lalu tersenyum simpul padaku. Lesung pipinya menambah manis senyumannya. Membuatku terpana. Sekejap kemudian kutundukkan kepalaku sembari malu-malu membalas senyumnya. Senyumnya membuatku lupa untuk menekan tombol lift. Kulirik ke sisi kiri lift, melihat daftar ruang setiap lantai. Oh, ya, lantai 6. Belum sempat kutekan, pintu lift telah tertutup. Lantai 6, kulihat angka itu tertera di atas. Ternyata tujuan kami sama.
Blek. Tiba-tiba lift bergoyang, membuatku hampir kehilangan keseimbangan kalau tidak memegang erat pegangan yang ada di lift. Sekejap lift pun berhenti. Kenapa ini? gumamku panik. Kutekan tombol open tetapi pintu lift tidak kunjung terbuka.
Lift-nya mati ya?”suara itu cukup mengagetkanku karena untuk pertama kalinya Fedi mengajakku bicara.
“I…iya kayaknya deh mas.” Rasa gugupku tidak sanggup kubendung.
Fedi tidak kembali bertanya, apalagi aku. Lalu hening kembali. Hanya suara keypad ponsel Fedi yang terdengar. Canggung sekali, gumamku.
“Eh, umm…” Kutengok ke arahnya. Fedi terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu kepadaku tapi tidak bisa dia katakan.
“Eh, umm…”
Ya mas, kenapa?
“Eh, umm, kamu anak Akuntansi juga kah? Angkatan berapa ya?”
Deg. Ternyata dia tidak mengenaliku.
“Iya mas. Angkatan 2013.”
“Wah, masih muda, beda dua tahun sama aku.” Untuk pertama kalinya kulihat Fedi tertawa, ternyata jauh lebih manis dibanding saat dia tersenyum. Matanya hampir tidak terlihat saat dia tertawa. Lucu.
Lagi-lagi aku tertawa malu-malu menanggapi jawaban Fedi itu. Lalu Fedi mulai bercerita banyak hal, mengenai prestasinya, organisasinya, kisah masa kecilnya, dan beberapa kekonyolan yang terjadi dalam hidupnya. Aku terpingkal setiap kali mendengar cerita konyolnya dan mimik wajahnya yang lucu. Hampir satu jam kami berada di lift ini, terkunci rapat. Tidak ada tanda-tanda teknisi lift ada. Satu jam lebih bersama Fedi di lift ini membuatku merasa nyaman dengannya. Kepribadiannya yang menyenangkan dan humoris membuat siapapun termasuk aku nyaman walau hanya beberapa detik mengobrol dengannya.
“Maa…mas…A…ku…” Cekrek. Belum sempat aku selesai mengucap kata, pintu lift pun terbuka. Mata kami saling berpandangan lalu serempak menatap ke arah teknisi yang sedari tadi membetulkan lift.
“Wah, udah dibuka nih Ay. Keluar yuk?”
Hah? Sekejap aku terperangah mendengar ajakannya. “Eh, iya mas. Yuk.”
“Makasih ya Pak.”
“Sama-sama dek. Maaf membuat kalian menunggu terlalu lama.”
Kami menggeleng. “Tidak apa-apa Pak. Mari.”
“Aku duluan ya Ay. Senang bisa mengobrol denganmu dek. Dadah.” Di depan pintu lift lantai 6 itu kami berpisah. Aku terdiam, tidak tahu harus berucap apa untuk menjawab salam perpisahannya. Fedi semakin menjauh. Tiba-tiba seorang perempuan yang tengah menggendong seorang bayi datang menghampirinya. Senyum perempuan itu merekah menyambut kedatangan Fedi. Pipi perempuan itu pun semakin merona kala Fedi mencium keningnya dan juga kening sang bayi. Aku terpaku, menatap mereka begitu hangat. Dan hatiku pun merasa hancur saat melihat adegan itu.

4 comments:

Powered by Blogger.