#2 Self-Trip, Bandung

Thursday, December 17, 2015
Yogyakarta, 14 Desember 2015
Malam nanti, aku akan pergi ke Bandung. Sendirian. Sejak semester satu aku memang berencana untuk ke sana terlebih melihat akses ke manapun dari Jogja begitu mudah. Namun, rencana itu selalu berakhir dengan wacana. Kali ini aku tidak ingin hal itu menjadi wacana lagi. Dengan kenekatanku, uang yang pas-pasan, serta informasi seorang teman mengenai objek wisata dan kendaraan umum yang ada di Bandung, malam ini aku memutuskan untuk ke Bandung. Walau ini kali kedua aku self-trip ke luar kota, tetapi perasaan was-was tetap menghantuiku. Dalam benakku, Bandung merupakan kota yang lebih besar dibanding Jogja, lebih “mengerikan”. 
Stasiun Lempuyangan-Yogyakarta, 14 Desember 2015 Pukul 18.50
Hujan tidak henti mengguyuri bumi sejak tadi sore. Pukul 18.42, aku bergegas masuk ke dalam stasiun, menerobos hujan. Langsung mengantre di pemeriksaan tiket. Takut jika kereta yang akan aku tumpangi telah berangkat. Mataku berkelana mencari bangku kosong untuk menunggu. Namun sayang, semua bangku telah dipenuhi penumpang yang sedang menunggu kereta juga. Lalu aku pun duduk di sebuah tempat pejalan kaki--entah apa namanya.
“Naik kereta apa mba?” tanya seorang ibu yang ada di samping kananku. 
“Kahuripan, Bu,” jawabku.
“Wah, sama ya berarti,” jawabnya ramah. 
Aku mengangguk sopan. Iya. 
Ibu tersebut menceritakan banyak hal, termasuk alasan dia, sang anak, dan sang suami pergi ke Bandung, yaitu untuk operasi retina. Hari itu, akan kedua kalinya sang suami dioperasi. Dari Ibu tersebut lah aku tahu kalau kereta Kahuripan yang akan aku tumpangi terlambat datang dari jam keberangkatan seharusnya, yaitu pukul 19.15. Aku menghembuskan napas, lega. Lumayan ada waktu buat makan. Pukul 19.17 kereta Kahuripan memasuki jalur 4, aku dan keluarga sang Ibu bersiap di belakang garis kuning. Setelah kereta berhenti di jalur 4, aku dan keluarga sang Ibu masuk ke gerbong masing-masing.
Aku menengok ke kanan dan kiri, mencari tempat duduk sesuai nomor yang ada di tiket. Setelah aku menemukannya dan bersiap untuk duduk, tiba-tiba seorang wanita yang berada di samping tempat dudukku memintaku untuk bertukar tempat dengan saudaranya. Dengan sedikit kebingungan aku pun mengiyakan. Wanita itu menuntunku ke belakang, ke tempat duduk saudaranya. 
“Ini mba,” kata wanita itu sambil menunjuk saudaranya. 
Aku ber-oh dan mengangguk sopan. Saudara wanita itu pun seketika berdiri begitu mendapat kode dari saudaranya untuk bertukar tempat denganku. Detik berikutnya kami sudah bertukar tempat. Ternyata tidak ada salahnya juga bertukar tempat karena aku bisa duduk di samping jendela, tempat favoritku. Aku menatap keluar jendela, gelap. Tidak ada yang bisa kulihat. Lalu aku mengeluarkan sebuah novel dari dalam tas. Baru beberapa halaman kubaca, rasa kantuk mulai melandamu. Sungguh tidak bisa kutahan. Aku pun terlelap tidur, mengabaikan suara yang berdering dari ponselku. 
Stasiun Kiaracondong-Bandung, 15 Desember 2015 Pukul 04.00



Setelah berkali-kali bangun-tidur-bangun-tidur kali ini kupaksakan diri untuk bangun karena kereta yang kutumpangi telah sampai di stasiun terakhir, Stasiun Kiaracondong. Sepagi ini stasiun telah ramai oleh penumpang. Ada yang menunaikan ibadah, menikmati sebungkus p*p mie dan segelas kopi hitam, tapi ada juga yang sengaja menunggu hingga pagi menjelang. Aku termasuk golongan pertama dan ketiga, seusai salat aku masih duduk manis di stasiun, mencari wifi dan menyelesaikan tugas yang akan dikumpulkan besok. Satu per satu penumpang pun bergegas pergi, membuat stasiun lengang. Hanya tersisa aku, dua orang (calon) penumpang, serta petugas stasiun yang hilir-mudik membersihkan lantai. Aku duduk di lantai, samping tempat men-charger ponsel dengan perasaan was-was. Takut diusir petugas. Sampai jam 6 kok pak, batinku tiap kali petugas lewat. 
Bandung, 15 Desember 2015 
Aku memejamkan mata, menghirup udara yang ada di sekitarku. Ah, kota Bandung. Sungguh tidak percaya aku bisa berada di sini. Setelah menikmati sepiring Kupat Tahu aku kembali melanjutkan perjalanan, mencari angkutan kota. Tujuan pertamaku antara Braga atau Dago. Menurut informasi seorang teman, aku harus naik angkutan kota berwarna putih-hijau jika ingin ke Dago. Namun, tidak satu pun angkutan kota berwarna putih-hijau yang berhenti atau sekadar lewat. Lalu aku memutuskan untuk naik angkutan kota berwarna hijau tua. Aku menanyakan banyak hal mengenai kendaraan yang harus kutumpangi untuk sampai Braga maupun Dago. Lalu aku memutuskan untuk ke Braga terlebih dulu. Angkutan itu pun tidak langsung membawaku ke Braga sehingga aku harus berhenti di terminal lalu menaiki bus Damri. 



Pukul 08.30 aku sampai di Jalan Braga. Jalan itu masih lengang, belum ada pengunjung yang ke sini. Toko dan kafe pun belum ada yang buka, bahkan kulihat beberapa petugas masih sibuk membersihkan toko/kafe. Aku menyusuri Jalan Braga, mengamati sekitarku. Suasana Eropa cukup terasa di sepanjang Jalan Braga. Kafe-kafe bermenukan makanan dan minuman a la barat pun berjejer di kanan-kiri jalan. Begitu pun dengan tokonya, tidak jauh berbeda. 
Setelah menyusuri Braga, aku menyusuri jalan lain hingga menembus Jalan Asia Afrika. Singgah sebentar di Museum Konferensi Asia Afrika. Sang satpam begitu ramah, bahkan kelewat ramah. Dia bahkan tiba-tiba saja bercerita mengenai kekesalannya pada segerombolan anak SD-SMP yang baru saja mengunjungi museum. Dia menggelengkan kepalanya saat bercerita segerombolan anak itu mengotori lantai museum. Membuat petugas kembali membersihkan lantai. Aku tersenyum tanggung menanggapi cerita sang satpam, tidak tahu harus berkomentar apa. 



Aula Konferensi ramai oleh segerombolan anak SMP yang sedang berkunjung. Aku jadi teringat saat aku bersama anak-anak sosial SMA ku saat mengunjungi aula ini sekitar tiga tahun yang lalu. Seingatku kami juga disuguhi video mengenai sejarah KAA. Aku tidak ingat detailnya dengan jelas, yang aku tahu pasti setelah itu kami berfoto di depan panggung, di depan gong besar. Ah, rasanya kangen dengan masa SMA-ku. Menyedihkan sekali aku kembali ke sini tidak dengan mereka, tidak dengan siapapun. 
Pukul 09.45 aku melewati jembatan penyebrang agar sampai di Alun-alun Bandung. Jembatan penyebrangnya sangat sepi dan kotor. Bulu kuduk berdiri karena ketakutan karena ada tiga orang pemuda yang berada di atas jembatan penyebrang. Aku melewati mereka dengan perasaan was-was. Untungnya tidak terjadi apa-apa. 
“Ke Taman Dago mas?” tanyaku pada sang supir. 
“Iya neng.”
Lalu aku pun masuk ke dalam angkutan itu. Sepi, hanya aku dan seorang penumpang lain. Tiba-tiba ada seorang lelaki paruh baya yang menghampiri angkutan. Dia bertanya padaku dan penumpang di sebelahku mengenai tujuan kami. Dengan semangat menggebu bahkan terkesan sangat emosional, bapak itu bilang kalau aku salah naik angkutan. Dia pun menghardik sang supir, mengejek sang supir dengan bahasa kasar. Nguing nguing nguing, terdengar suara mobil polisi. Seketika beberapa angkutan kota, termasuk yang kutumpangi langsung tancap gas, meninggalkan Alun-alun. Aku mulai takut, tidak hentinya berdoa agar sang supir tidak berbuat jahat. Setelah kuamati dengan seksama, angkutan itu ternyata hanya mengitari Alun-alun. Anehnya, angkutan itu kembali berhenti di tempat semula. Aku dan penumpang di sebelahku saling berpandangan. Sama-sama ketakutan, dan akhirnya kami memutuskan turun dari angkutan, mencari yang lain. 
Lagi-lagi aku menemui angkutan yang tidak langsung pada tujuan yang kuingin. Membuatku harus dua kali naik angkutan. Di dalam angkutan ini aku bertemu dengan tiga orang remaja, mungkin masih SMP. Pembicaraan mereka sangat seru, dan khas remaja. Aku tidak sengaja mengupingnya. Bahkan ada satu percakapan yang masih terekam di memoriku, entah sebelumnya mereka membicarakan apa. Masa gue ke sana sendirian. Keliatan jomblo banget dong gue, kata salah satu dari mereka. Aku melirik ke arah mereka agar mereka sadar kalau orang di depannya ke Bandung saja sendirian. Namun, mereka tetap asik dengan obrolan mereka. Dari percakapan mereka, aku yakin salah satu dari mereka sangat mendominasi “geng”. 
Sekitar pukul 11.00 aku sampai di Taman Dago yang berada di perempatan dan di bawah fly-over. Tidak seperti yang kubayangkan, taman ini terlihat kecil dan sepi. Hanya aku, dua petugas kebersihan, dua orang penjual makanan, dan beberapa orang pengunjung. Sambil menunggu teman, aku menikmati novel yang kupinjam. Dari arah Barat kulihat temanku sedang menghampiriku. Setelah ber-hai dan berjabat tangan aku dan temanku bergegas pergi menuju kosnya. Sepanjang jalan hingga sampai di kos teman, kami membicarakan banyak hal, terutama mengenai kuliah serta hal-hal yang menarik di kampus masing-masing. Ternyata kampus begitu banyak perbedaannya, terutama mengenai pemilihan raya mahasiswa dan unit kemahasiswaannya. Aku menjadi sedikit paham keadaan kampus temanku. 
Institut Teknologi Bandung, 16 Desember 2015 
Pukul 08.00, seusai berpamitan dengan temanku dan kakak kelasku aku dan temannya temanku pun bergegas pergi ke ITB, kampusnya. Sebelum itu kami mampir membeli Seblak. Temannya temanku pun bercerita kalau hasil pemira UGM terdengar hingga ITB, terlebih di kalangan anak Banyumas yang berkuliah di ITB. Mereka pun turut bangga presma UGM yang baru berasal dari Banyumas. 
Kami menyusuri Jalan Tamansari hingga Jalan Ganesha. Temannya temanku menawariku untuk sarapan di Kantin Salman atau Kantin ITB. Setelah melakukan berbagai pertimbangan aku pun memilih untuk sarapan di Kantin Salman. Selain tempatnya yang bersih, kantin ini pun memiliki satu keunikan, yaitu pemisahan tempat mengambil makanan antara wanita dan pria. Walau begitu aku rasa pemisahan itu agak kurang berpengaruh banyak karena masih ada pembeli pria yang mengambil makanan di bagian wanita. Sementara walau dipisah, pembeli wanita dan pembeli pria masih dapat saling melihat karena hanya terpisah makanan. Namun, harus kuakui makanannya enak dan mengenyangkan walau sedikit mahal. Lalu kami mampir ke Masjid Salman, meneguk dua cangkir teh hangat dan mengisi ulang botol minumku. 



Lalu kami kembali melanjutkan perjalanan, memasuki gerbang utama ITB, mengamati berbagai gedung kuliah yang ada di ITB. Kami melewati gedung Biologi, Teknik Kimia, FSRD, dan SBM. Dari ceritanya temannya temanku bisa kusimpulkan bahwa peraturan di ITB lebih ketat, seperti tidak boleh menyelenggarakan konser di wilayah kampus--kecuali di Sabuga yang terletak di belakang ITB--,tidak boleh menginjak rumput, dan tempat parkir mahasiswa hanya ada di daerah depan dan belakang ITB. Aku cukup tercengang saat temannya temanku bilang akan dipotong 2 SKS jika menginjak rumput. Aku lupa menanyakan lebih lanjut mengenai pemotongan SKS itu, tapi sepertinya terdengar ngeri. 



Setelah melihat beberapa gedung, kami meneruskan perjalanan menuju Saraga (tempat olahraganya ITB, red). Saraga berada di seberang jalan, tetapi kami bisa melewatinya melalui ruang bawah tanah yang disebut tanel. Fasilitas olahraga yang dimiliki pun cukup beragam, ada gym, kolam renang, lapangan bola, voli, dan arena lari. Pemandangan belakang Saraga pun cukup unik, sisi kiri didominasi oleh gedung bertingkat, sementara sisi kanan ada beberapa gedung bertingkat, dan pepohonan yang lebat. Kami kembali melangkah, keluar dari pintu Saraga, lalu memasuki hutan kota. Hawa kesejukan mulai membalut tubuh kami. Kami pun harus menaiki jalanan yang menanjak untuk sampai jalan raya dan mencari angkutan kota. Kami pun berpisah di Simpang Dago begitu angkutan putih-hijau berhenti di depan kami. 
Kereta Serayu Pagi-Gerbong 2, 16 Desember 2015 Pukul 12.50 



Kereta yang akan membawaku kembali ke rumah telah memasuki jalur 6. Aku dan penumpang lain telah bersiap berdiri di samping jalur 6. Aku duduk di samping jendela, tempat favoritku. Seperti yang pernah dibilang temanku, pemandangan Bandung-Purwokerto menggunakan kereta begitu menakjubkan. Tidak hanya hamparan sawah, tapi juga bukit-bukit yang berbaris. Aku tidak bisa memalingkan wajah dan tidak henti untuk mengabadikannya ke dalam ponsel. Dua kali kereta sempat terhenti karena ada kereta dari jalur berlawanan. Membuat beberapa penumpang mendengus kesal. Namun, itu tidak membuat kereta sampai Purwokerto melenceng jauh dari waktu tiba yang tertera di tiket. Pukul 20.00 kereta sampai di Stasiun Purwokerto. Aku keluar dari pintu selatan. Mataku mengamati sekitar, mencari ibuku. Dari arah utara terlihat sosok ibuku menghampiri. Lalu kami bergegas pulang ke rumah.
Dari self-trip-ku kali ini aku mengambil pelajaran untuk “tidak terlalu berani” untuk berpergian sendirian ke kota besar, serta lebih matang untuk merencanakan sebuah perjalanan. 
Terimakasih untuk Dian, Gilari, dan mba Wulan :3 See you again Bandung! :3 Ah, ya selamat berminggu  (yang katanya) tenang :”3 

No comments:

Powered by Blogger.