Penantian Sembilan Hari

Saturday, June 08, 2019


Seorang senior pernah berpesan kepadaku bahwa semaksimal apapun usaha yang dilakukan untuk mewujudkan persalinan impian, tetapi tetap hanya Allah yang tahu bagaimana nantinya persalinan kita. Pesan itu begitu terngiang di kepalaku hingga akhirnya Umar lahir.

Sebagaimana kebanyakan ibu hamil lainnya, aku pun ingin melahirkan secara normal. Apalagi Mas juga sangat mendukung hal ini. Sayang, hal itu tidak selaras dengan kondisi Umar saat masih di dalam rahim. Sempat sungsang, lalu kepala belum masuk ke dalam panggul membuat tiga bidan menyarankanku untuk memilih operasi caesar sebagai cara persalinan nanti. Apalagi usia kandunganku saat itu sudah memasuki pekan ke-36. Namun, aku dan Mas tetap bersikukuh untuk mengambil jalan normal.

Menjelang HPL hingga terlewat beberapa hari, tanda-tanda persalinan itu pun belum muncul. Agar persalinan impian itu pun terwujud, aku dan Mas memilih untuk diinduksi. Empat kali induksi melalui obat dan dua kali induksi infus, ternyata hanya berhenti di pembukaan kelima. Setelah semalaman merasakan kontraksi yang cukup hebat, selepas pagi tidak lagi kurasakan adanya kontraksi. Melihat tidak adanya perkembangan yang berarti, dokter memutuskan untuk mengambil jalan operasi selepas Maghrib jika memang hingga sorenya tidak ada perkembangan. Menjelang siang, kontraksi itu benar-benar tidak lagi muncul. Perasaanku saat itu sangat mendung, tapi aku mencoba pasrah dengan takdir-Nya.

Sorenya, ketika aku, Ibu, dan adik ipar sedang di kamar bersalin, tiba-tiba perawat memberitahu kami bahwa jadwal operasi dimajukan. Kami panik karena saat itu Mas sedang salat Ashar di masjid. Para perawat mulai memasang perlengkapan operasi di tubuhku. Melihat itu, aku terus mencoba pasrah sembari merapal doa. Syukurnya, Mas segera datang sebelum aku masuk ke ruang operasi. Mas terus menyemangatiku dan mengatakan bahwa mungkin ini memang jalan terbaik-Nya.

Setelah semua siap, aku dibawa ke lantai empat, ditemani para perawat juga Mas, Ibu, dan adik ipar. Sayangnya, Mas, Ibu, dan adik ipar hanya dapat mengantarku ke pintu masuk ruang operasi. Setelahnya, aku menunggu di bagian depan bersama para perawat bagian kebidanan. Tidak berselang lama, datanglah perawat di bagian ruang operasi. Kedatangannya sekaligus menjadi pertanda bahwa operasi itu akan semakin dekat.

Operasi itu terasa begitu lama. Hatiku mencoba tenang, perut hingga kakiku terasa mati rasa. Namun, entah di menit ke berapa, tiba-tiba terdengar suara rengekan bayi dari ruangan dekat meja operasi. Tiba-tiba seorang perawat membisik telingaku, "selamat ya mba, anaknya laki-laki." Karena tidak mendengar suara rengekan bayi dari meja operasi, aku pun bertanya, "emang udah lahir mba?" Perawat itu menjawab kalau anakku sudah dibawa bidan. Dan aku pun baru menyadari kalau rengekan bayi yang kudengar itu adalah suara anakku. Aku begitu terharu, bahagia, dan lega. Perasaan itu semakin menjadi ketika perawat menaruh anakku di dadaku. Kata sang perawat, itu adalah IMD (inisiasi menyusui dini)-nya ibu hamil yang dioperasi.

Selang sehari, dokter kandunganku visit ke kamarku. Selain memberiku saran untuk makan rebusan telur ayam kampung. Beliau juga bercerita bahwa saat menjelang sore di hari operasi, tiba-tiba Beliau mendapat feeling untuk memajukan operasi dari selepas Maghrib menjadi selepas Ashar. Ternyata feeling Beliau begitu kuat karena ketika operasi, ketubanku sudah keruh dan hijau. Jadi, jika tetap dilakukan selepas Maghrib, mungkin anakku yang saat itu masih dalam kandungan tidak akan kuat untuk bertahan.

Mendengar perkataan Beliau, aku semakin yakin bahwa hanya Allah yang tahu kapan dan dengan cara bagaimana seorang anak terlahir di dunia. Meskipun kita sudah melakukan berbagai upaya agar dapat melahirkan secara normal. Dan aku pun semakin bersyukur karena dokter kandunganku menuruti feeling-nya untuk memajukan jadwal operasi.

No comments:

Powered by Blogger.