Frekuensi dan Advokasi Demokratisasi Media

Friday, August 28, 2015

“Frekuensi milik publik dan karenanya seharusnya diatur untuk kepentingan publik”
Frekuensi menjadi hal yang penting bagi sebuah stasiun televisi maupun radio. Jika tidak memiliki frekuensi, tentu saja stasiun televisi maupun radio tersebut tidak bisa menyiarkan informasi dan acara ke publik secara luas. Walaupun dalam perizinan pemakaian frekuensi harus melalui pemerintah, tetapi frekuensi sebenarnya dimiliki oleh publik. Bukan dimiliki secara harfiah, melainkan secara fungsional. Namun, saat ini banyak stasiun televisi atau radio yang ‘menyalahgunakan’ frekuensi untuk kepentingan pribadi sang pemilik maupun public figure atau artis. Seperti yang diceritakan dalam film dokumenter karya Ucu Agustin yang berjudul “Di Balik Frekuensi”. Film yang diputar dalam acara Bincang Muda di Fisipol UGM ini mengisahkan dua orang yang memperjuangkan kebenaran dalam kasus yang berbeda tetapi memiliki benang merah yang sama. Kasus yang mereka perjuangkan sama-sama berurusan dengan pemilik stasiun televisi, tentu stasiun televisi yang berbeda. Namun, memiliki akhir cerita yang berbeda.
Kasus pertama yaitu kasus Luviana, seorang reporter berita yang tiba-tiba saja diberhentikan setelah menulis sebuah artikel untuk memperjuangkan kaum buruh. Saat Luviana bertanya apa yang menjadi kesalahannya, pihak stasiun televisi itu mengatakan bahwa Luviana tidak melakukan kesalahan apapun. Hal itu membuat Luviana bingung. Perjuangan Luviana untuk kembali bekerja di stasiun itu pun mendapat banyak dukungan dari kaum jurnalis dan kaum buruh. Dimulai dari berdemo di depan kantor stasiun televisi itu hingga mendatangi kantor partai sang pemilik stasiun televisi sampai akhirnya berhasil bertemu dengan sang pemilik. Pertemuan pertama dengan sang pemilik terjadi perdebatan yang sangat a lot tetapi tidak menghasilkan keputusan apapun, Luviana malah diminta kembali ke kantor partai itu besok lusa. Namun, saat Luviana datang ke pertemuan kedua, di hari yang dijanjikan sang pemilik stasiun televisi, pertemuan kedua tersebut dibatalkan karena sang pemilik sedang melakukan general check-up di Singapura. Di hari-hari berikutnya Luviana kembali ke kantor partai sang pemilik stasiun televisi, tetapi selalu gagal bertemu dengan sang pemilik, hanya sekretaris jenderal partai itu yang menemui Luviana. Hingga akhirnya surat PHK itu pun datang ke rumah Luviana, membuat Luviana semakin kalut karena harus memikirkan cara lain lagi untuk menyambung hidup. Sebab sejak kasus tersebut muncul, kejelasan status kepegawaian Luviana dan gajinya pun tidak jelas. Namun, Luviana tidak pantang menyerah. Di bulan September 2012, sekitar tiga bulan dari kasus itu muncul, Luviana masih memperjuangkan dirinya.
Kasus kedua yaitu kasus Hari Suwandi, seorang korban lumpur Lapindo yang melakukan aksi jalan kaki dari Porong menuju Jakarta, memperjuangkan hak korban lumpur Lapindo. Berdua bersama temannya, Hari disambut isak tangis korban lumpur Lapindo yang mengantar keberangkatan mereka ke Jakarta. Pengharapan seluruh korban lumpur Lapindo berada di pundak mereka. Pengharapan atas datangnya ganti rugi yang harus mereka tanggung selama bertahun-tahun akan segera datang. Bukan hanya ratusan juta melainkan sekitar 70 miliar rupiah. Berharap sekali daerah yang dulu mereka tinggali—tetapi harus tenggelam—akibat lumpur Lapindo akan kembali seperti sediakala. Satu bulan lebih Hari dan temannya melakukan aksi jalan kaki, melewati berbagai kota, menemui beberapa orang yang memberikan bantuan dan semangat atas perjuangan mereka. Berbagai media pun meliput aksi jalan mereka, tetapi terjadi pemberitaan berita berbeda di stasiun televisi yang pemiliknya juga pemilik sebuah perusahaan yang mengakibatkan daerah Porong tenggelam karena luapan lumpur. Stasiun televisi itu mengatakan bahwa aksi jalan itu hanyalah untuk mencari sensasi, Hari adalah orang Kediri, dan berbagai berita negatif yang lain. Pemberitaan itu membuat mereka geram. Puncaknya saat mereka tiba di Jakarta dan mendatangi kantor DPR, Hari melarang reporter dan kameraman stasiun televisi itu untuk meliput kegiatan mereka. Namun, perjuangan itu seakan sia-sia dan tanpa arti saat Hari beserta istri dan cucunya mendatangi kantor stasiun televisi tersebut sebagai narasumber atas aksi jalan Hari dan temannya. Bukan hanya karena ganti rugi yang tidak mereka dapatkan tetapi seperti adanya pemutarbalikkan fakta. Sang teman bahkan tidak mengetahui bahwa di malam itu Hari pergi ke kantor stasiun televisi itu. Sang teman merasa sedih dan kecewa saat menonton acara tersebut karena Hari mengaku merasa menyesal atas aksi jalan yang Hari dan temannya lakukan, meminta maaf hingga bercucuran air mata kepada sang pemilik stasiun televisi, dan hal-hal lain yang sangat berbeda sebelum Hari mendatangi kantor stasiun televisi itu.
Dua kasus tersebut memiliki akhir cerita berbeda. Lain Luviana, lain Hari. Luviana tetap mempertahankan kebenaran dan terus berjuang, sementara Hari ‘menyerahkan’ perjuangannya dan keberadaannya tidak lagi diketahui berada di mana. Walau kasus tersebut telah lama berlalu, tetapi sepertinya kasus itu belum usai, belum tuntas.
Setelah screening “Di Balik Frekuensi”, yaitu diskusi mengenai film tersebut yang diisi oleh seorang dosen Komunikasi yang membahas dari sisi wacana demokratisasi media. Beberapa konteks seperti makro, meso, dan mikro pun beliau singgung. Dalam konteks makro beliau menyinggung beberapa acara yang seharusnya bersifat privat tetapi menjadi konsumsi publik, seperti pernikahan artis dan proses melahirkan artis tersebut. Koalisi yang dilakukan beberapa stasiun televisi saat pemilihan presiden sehingga terbagi menjadi dua. Persoalan frekuensi penyiaran televisi yang dialami Indonesia yang ternyata cukup banyak dan urgen, seperti konglomerasi media, sistem penyiaran televisi yang rating-based, dan regulator KPI yang kurang ‘galak’ karena berada di bawah naungan Kemkominfo. Di Indonesia ada ratusan dan ribuan stasiun televisi komersial dan lokal, stasiun radio, media cetak, dan media online. Namun, sangat disayangkan kepemilikan media tersebut hanya dimiliki 12 orang. Satu pemilik media tidak hanya memiliki satu media, melainkan beberapa, bahkan di antara pemilik itu memiliki bisnis di luar media, seperti supermarket dan properti. Selanjutnya menyinggung demokratisasi media yang terdiri dari dua aspek, freedom (of speech, expression, dan the press) dan diversity (of content, voices, dan ownership). Dalam konteks meso membahas mengenai film dokumenter dan Ucu Agustin, sang sutradara “Di Balik Frekuensi” yang telah membuat beberapa film indie yang berfokus pada film dokumenter dan bertemakan perempuan, sejarah, buruh, dan media. Dan dalam konteks terakhir, yaitu konteks mikro yang membahas ulang sedikit mengenai film “Di Balik Frekuensi” dan apa yang selanjutnya dilakukan oleh negara dan masyarakat sipil.

Sesi terakhir yaitu tanya jawab. Dalam sesi ini ada pernyataan beliau yang membuatku terkesan dan membuatku mengangguk setuju. “Dulu, musuhnya jurnalis adalah pemerintah. Sekarang, musuhnya jurnalis adalah pemilik media, bose dhewek..” Setelah menonton dan mengikuti diskusi film itu membuatku semakin prihatin dengan dunia per-media-an di Indonesia. Lebih mengerikan dari yang selama ini aku bayangkan. 

No comments:

Powered by Blogger.