Duta Inspirasi Jogja Pergi ke Jakarta (Bagian I)

Monday, December 09, 2013

Yogyakarta, 15 November 2013

Siang ini jogja kembali diguyur hujan. Seperti biasa, tapi kali ini lebih deras, sampai-sampai Selokan Mataram tergenang air. Sial, padahal jam setengah empat nanti aku harus berangkat ke Jakarta bersama tujuh Duta Inspirasi Jogja--Tomi, Iqbal, Faisal, mba Nesya, mba Riza, mba Peni,dan mba Wana. Lebih sial lagi, sekarang udah jam setengah tiga, aku belum packing, dan kejebak di kosan teman. Parah. Tukang ojek langgananku pun belum datang, mungkin masih di jalan, kejebak hujan. Untunglah, beberapa menit kemudian tukang ojeknya datang. Basah, hujannya terlalu deras, jas hujan yang kupakai pun gak mampu melindungiku dari guyuran hujan. Sesampainya di kosan, bergegaslah aku menuju kamar. Berkemas-kemas, memasukkan baju seadanya, asal ambil saja, yang penting baju batik yang kupinjam dari temanku tadi gak lupa kubawa. Baju batik merupakan dresscode di acara yang akan kami datangi, yaitu Red Carpet of Success #2. Motor melaju dengan kecepatan lambat, walaupun aku udah meminta tukang ojeknya untuk mempercepat laju motor.

Aku basah kuyup begitu tiba di stasiun Lempuyangan. Pakaianku basah, jaketku basah, terlebih lagi sepatuku. Ternyata ada mba Nesya, mba Riza, mba Peni, dan mba Wana yang udah menunggu kami--aku, Tomi, Iqbal, Faisal--dari tadi di depan ATM stasiun. Beberapa menit kemudian Iqbal datang dengan keadaan yang sama sepertiku, walau gak sebasah aku, dan tanpa memakai alas kaki. Bal, sandal lo mana? tanya seorang dari kami--aku lupa siapa. Ohh, tadi anyut waktu mau ke sini, jawabnya dengan santai. Lalu Faisal datang, dia ini soulmate-nya Iqbal. Jadi jangan heran, kalau mereka lagi berduaan, berasa dunia ini milik mereka, asik sendiri. Kok kalian belum pada masuk, sih? tanya Faisal begitu datang. Iya, ini masih nunggu si Tomi. Oh, yaudah, kita masuk dulu aja, keburu keretanya dateng, jawab Faisal sok bijak. Akhirnya kami masuk ke dalam stasiun. Berdiri di barisan antrian pengecekan tiket. Mendekati jam setengah empat, belum ada tanda-tanda kedatangan Tomi. Tiba-tiba dia mengirim SMS ke salah seorang di antara. Motorku mogok, di sini ujannya deres banget, kalo naik taksi pun udah gak keburu. Kami kecewa. Masalah kembali datang, begitu giliran kami untuk dicek tiket, mba Wana gak diijinkan masuk. Karena nama yang tercantum di tiket gak sama dengan yang tercantum di KTP nya mba Wana. Sebelumnya kami memang udah tau kalau tiketnya mba Wana menggunakan nama temannya mba Riza. Kami pun udah membahasnya dengan mas Brili--founder Rumah Inspirasi Academy--dan solusinya mba Riza akan membawa KTP temannya itu ke stasiun. Sialnya, temannya mba Riza sedang pergi entah ke mana, jadi mba Riza gak sempat meminjamnya. Mba Riza memohon kepada petugas pengecekan tiket untuk mengijinkan mba Wana tetap masuk. Kita gak bisa ke Jakarta Pak, kalau dia gak ikut. Petugas pengecekan tiket bersikukuh untuk tidak mengijinkan mba Wana masuk. Kami bingung, serba salah. Antara tetap pergi ke Jakarta tanpa mba Wana dan Tomi, atau kami semua gak jadi pergi. Dengan keegoisan kami dan mengingat pentingnya acara RCOS #2, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke Jakarta, tanpa mereka. Walau begitu kami tetap membujuk mba Wana untuk menyusul kami ke Jakarta bersama Tomi.
Kami memasuki gerbong demi gerbong kereta dengan perasaan tidak enak. Perasaan yang tadinya senang karena akan pergi ke Jakarta seketika tergoyahkan dengan kejadian tadi. Saat kereta udah jalan pun kami masih merasa tidak enak hati, terlebih lagi mba Riza. Dia sangat merasa bersalah dengan Wana karena dia yang membelikan tiket kereta. Aku, mba Nesya, dan mba Peni mencoba menghiburnya dan berkata kalau ada hikmah dari segala kejadian ini.
Ini kedua kalinya aku naik kereta, kali pertama naik kereta waktu aku SD. Ke Jakarta juga. Lama sekali. Aku selalu senang duduk di dekat jendela. Karena dari sini aku bisa melihat pemandangan yang jarang kulihat. Sawah yang terhampar luas, bukit-bukit yang ditutupi awan, langit biru yang mulai berganti senja. Kereta mulai memasuki sebuah terowongan, seketika gelap. Lama sekali. Terowongannya lumayan panjang juga. Jam enam sore, kereta berhenti sebentar di stasiun Purwokerto. Rasanya sedih sekali gak bisa turun di sini, kampung halamanku. Kereta kembali jalan, meninggalkan stasiun Purwokerto. Jadi ingat, waktu kereta berhenti di stasiun Kroya, si Faisal tanya ntar lewat kampung halaman lo, ya? Dan begonya aku jawab, udah kelewatan, Sal. 
Semuanya tidur, kecuali aku, mba Peni, dan mba Nesya yang masih terjaga. Faisal dan Iqbal apalagi, tidur sangat pulas. Faisal tidur telantang di kursi, menekuk kakinya yang panjang, memasang headset di telinga sambil memeluk laptop kesayangannya. Sementara Iqbal hanya menyandarkan kepalanya di jendela dengan mulut sedikit terbuka. Liat deh mba, si Faisal tidur sambil meluk laptop, kataku. Hah? Masa sih? menengok ke belakang, oiya, lucu banget si Faisal, foto ah! kata mba Peni. Sayang, kenikmatan tidur Faisal direnggut oleh para petugas kereta yang akan mengecek tiket.
"Duh, bosen mba!",kata mba Peni
"Iyanih, Dek. Yuk, kita main Pancasila Lima Dasar aja,"kata mba Nesya
"Faisal sama Iqbal diajakin juga gak mba?",kataku
"Mereka udah bangun po?",kata mba Peni
"Udah kok, Mba,"kataku.
"Sal, Bal, mau ikutan main Pancasila gak?",kata mba Peni  
"Boleh deh, Mba,"kata mereka kompakan.
Jadilah malam itu kami main permainan Pancasila Lima Dasar di kereta. Aturannya ialah kalau salah satu dari kami gak bisa jawab, kami akan dicubit tangannya. Malam semakin larut, kantuk mulai melanda kami. Aku berusaha memejamkan mata, tapi tetap gak bisa. Bolak-balik merem-melek karena menggigil kedinginan. Rasanya gak keruan, mau tidur kedinginan, gak tidur tapi ngantuk. Entah karena AC nya atau karena pakaianku yang masih basah, atau akumulasi keduanya. 


Jakarta, 16 November 2013

Pukul 00.00 WIB, akhirnya kami sampai di stasiun Jatinegara. Setelah delapan jam kami berada, akhirnya SELAMAT DATANG DI JAKARTA. Begitu keluar dari stasiun, kami diserbu oleh para supir taksi yang menawarkan jasanya untuk mengantar kami. Hiruk pikuk kota Jakarta, gak pernah ada tidurnya. Beh! Baru sampai di Jakarta udah disambut kepulan asap bajaj saja. Langkah kami terhenti di dua buah taksi yang melaju lambat di pinggir jalan. Taksi pertama membawa aku, mba Peni, dan Iqbal menuju rumah Iqbal di Pondok Gede. Taksi kedua membawa mba Nesya, mba Riza, dan Faisal menuju rumah Faisal  di Pondok Cabe. Sekitar jam 1 kami tiba di rumah Iqbal. Rumahnya menjorok ke dalam, dan memiliki halaman yang cukup luas. Ketika masuk ke sini, kita akan mencium aroma pohon kamboja seakan kita sedang berada di Bali. Toktoktok, Assalammualaikum. Pintu terbuka. Sesosok wanita muncul dari balik pintu, masih terlihat cantik walau sudah berumur, terlihat kalem, persis seperti Iqbal. Dengan sungkan, kami masuk ke dalam rumah. Ini mba, minumannya, diminum lho, mba. Aku dan mba Peni hanya mengangguk dan tersenyum. Nggih, Bu. Ibunya Iqbal sangat ramah, beliau juga bercerita kalau beliau berasal dari Solo dan bapaknya Iqbal berasal dari Semarang. Dan membuat kami agak sedikit kaget, oalah wong Jowo juga. Setelah menghabiskan minuman buatan ibunya Iqbal, kami masuk ke kamar yang sudah disiapkan. 
Pagi harinya kami sarapan bersama Iqbal dan ibunya pakai nasi uduk. Ibunya Iqbal bercerita banyak tentang Iqbal dan Faisal, dan teman-teman SMA mereka. Sejak SMA mereka memang sudah akrab, apalagi mereka bersekolah di sekolah berbasis Islam yang memisahkan antara kelas laki-laki dan kelas perempuan. Jadi jangan heran kalau mereka sudah berkumpul hebohnya kayak gimana. Ibunya Iqbal juga bercerita banyak tentang Faisal yang cuek dan suka bangun siang sampai-sampai membuat ibunya kesal. 
Siang nanti, sekitar jam 1 kami semua beserta Duta Inspirasi yang lainnya akan ada pembekalan Rumah Inspirasi di daerah Tebet. Jam setengah 11, mba Nesya, mba Riza, dan Faisal tiba. Sebelum pergi ke Tebet kami mampir sebentar ke SMA-nya Iqbal dan Faisal. Sekolah mereka ini bernama Jakarta Islamic School yang berada tidak jauh dari rumah Iqbal. Sesampainya di sana aku, mba Nesya, mba Peni, dan mba Riza memisahkan diri dari Iqbal dan Faisal yang tengah asik melepas rindu dengan teman-temannya. Akhirnya kami memutuskan untuk mengitari sekolah. Dasar mba-mba ini anak biologi, sekali liat ada percobaan buatan anak-anak yang bersekolah di sana mengenai menanam tanaman di sebuah botol yang telah dimodifikasi tanpa adanya lubang di botol itu, senangnya bukan main.

Kiri-kanan: mba Nesya, mba Peni, aku :D

Peraturan yang ada di JIS
Setelah segala urusan telah selesai, kami bergegas ke tempat Faisal untuk mengambil dompetnya lalu dilanjutkan ke daerah Tebet. Kami sangat menikmati perjalanan ini sambil menyenandungkan lagu Jodoh Pasti Bertemu setiap lagu ini diputar. Jodoh Pasti Bertemuuuu. Tepat jam 12 siang kami tiba di sana, tepatnya di Crown Palace, Tebet. Sepertinya kami terlalu awal datangnya, mas Brili juga baru datang bersama temannya ketika kami tiba di sana. Sambil menunggu Duta Inspirasi dari kota yang lain datang, kami menunaikan salat Dhuhur berjamaah. Setelah semuanya berkumpul, acara pembekalan Rumah Inspirasi (Rumi) dimulai. Acara ini diawali dengan cerita inspiratif dari mas Alif tentang sukses mulia. Beliau bercerita tentang kehidupannya yang sukses berkat bekerja sebagai bodyguard seorang bupati. Gaji besar, dielu-elukan, dihormati setiap orang, kalau ada yang membutuhkan bantuan beliau sanggup memberikan dana sebanyak apapun. Namun, dengan kesuksesan yang seperti itu beliau belum menjadi orang yang mulia. Rumah tangganya hancur hingga berujung di meja perceraian. Utangnya menumpuk hingga segala yang dia punya harus dikasihkan ke bank. Seketika itu juga dia bangkrut. Teman-teman yang dulu berhutang kepadanya hingga berpuluh-puluh juta tidak mau membayarnya. Beliau mulai menyadari kalau pekerjaan tersebut membuatnya lupa dengan keluarga dan juga Tuhan. Beliau juga sadar kalau uang yang dia dapat itu tidak 100% halal. 
Selanjutnya acara inti yaitu pengenalan Rumah Inspirasi dan Komunitas. Pengenalan Rumah Inspirasi ini dijelaskan oleh mas Brili selaku founder Rumah Inspirasi Academy. Selanjutnya, pengenalan Komunitas yang dijelaskan oleh mas Purwanto selaku inisiator komunitas sekaligus community expert. Dia rela resign dari kantornya demi memajukan passion-nya untuk mengembangkan komunitas. Menurutnya ada empat unsur membangun komunitas, yaitu pemimpin, visi, team, manfaat. Organisasi yang hebat adalah organisasi yang dapat memberikan manfaat kepada masyarakat dan anggotanya. Dia juga bercerita bahwa komunitas di Indonesia yang sudah mati itu karena pemimpin yang terlalu egois, tidak ada manfaatnya bagi masyarakat. Di akhir acara kami diajak untuk membuat satu program kewirausahaan, sasaran konsumennya, modalnya apa saja, dan kapan usaha itu akan terlaksana. 
Gak terasa udah jam 4 sore, belum makan siang, perut keroncongan. Akhirnya kami berhenti di sebuah rumah makan yang menyediakan soto geprak. Jadi kita harus siap-siap pasang telinga karena sekitar tiap 10 menit sekali kita akan mendengar suara GEPRAK! dari dapur. Tetap saja saat sedang makan pun masih merasa kaget ketika suara itu muncul, jantung berdebar kencang. Ketika sampai di meja kasir rasa kagetku semakin meningkat. Bukan karena suara geprak itu tapi karena harga soto+es teh yang diluar perkiraan. Tadinya kupikir gak mungkin lah habis 20 ribu. 
Tujuan selanjutnya yaitu Monumen Nasional atau biasa dikenal dengan Monas. Kami melewati deretan rumah kedutaan besar dari berbagai negara, melewati sebuah taman yang kulupa namanya apa. Lalu kami kembali melewati deretan rumah kedutaan besar dari berbagai negara. Daerah itu merupakan daerah yang paling bersih di Jakarta, banyak pohon yang rindang, tidak panas, dan tidak ada sampah yang berserakan. 
Monumen Nasional. Semakin dekat semakin terlihat betapa tingginya tugu ini. Ketika kami berjalan mendekati Monas, Faisal yang berjalan di belakangku nyeplos, Yas, sandal lo keren amat, hahaha. Sialan lo, balasku. Ya, karena sepatuku yang masih basah, terpaksa aku harus menggunakan sandal adiknya Iqbal. Ramai sekali, banyak pedagang yang menjajakan dagangannya, ada juga yang rela berdandan menjadi pocong dan bala tentara demi mengais rezeki. Ada juga sekelompok pengamen tradisional yang mempertunjukkan ondel-ondel diiringi musik tradisional Betawi. Mungkin kalau kami bisa ke sini lebih awal lagi, kami berkesempatan untuk masuk ke dalam Monas. Jadilah kami hanya mengitari Monas dan berfoto-foto. 
Dari kiri-kanan: mba Nesya, aku, mba Peni, Iqbal, Faisal.
Aku paling suka foto yang ini.

Dari kiri-kanan: mba Riza, mba Peni, mba Nesya, aku.

Dari kiri-kanan: mba Peni, mba Nesya, aku

Mba Riza dan mba Nesya
Kebelet pipis. Kami berusaha mencari toilet tapi gak ketemu. Adzan pun telah berkumandang, dari masjid Istiqlal. Atas keputusan bersama kami bergegas ke masjid Istiqlal untuk menunaikan salat Maghrib sekaligus menunaikan hajat fisiologis kami. Aku baru kalau masjid Istiqlal bersebrangan dengan gereja Katedral yang tak kalah megah. Tidak hanya sebagai tempat ibadah, halaman depan masjid, tepatnya di dekat pintu masuk, ada sebuah taman kuliner yang menyediakan berbagai macam makanan dan minuman. Sedikit masuk ke dalam kita akan melewati sebuah jembatan yang di bawahnya terdapat aliran sungai entah apa. Semakin ke dalam semakin ramai, dan semakin berdesak-desakan. Ketika memasuki tempat wudhu untuk wanita, aku kaget karena tidak ada hijab antara tempat wudhu pria dan wanita. Memang dipisah, tapi di antara tempat wudhu pria dan wanita itu ada sebuah koridor tempat jamaah laki-laki hilir-mudik untuk berwudhu itu tidak ada kain atau apalah untuk memagari tempat wudhu wanita dengan koridor itu agar bisa saling menjaga pandangan. Sayang sekali kalau masjid semegah ini memiliki tempat wudhu yang tidak berhijab. 
Selesai salat, kami bergegas pergi. Entah ke mana. Tadinya kupikir kami akan mampir ke suatu tempat sebentar, tapi sepertinya tidak memungkinkan. Jakarta, aku tetap terjaga di saat yang lain terlelap tidur, menatap keluar jendela, melihat keindahanmu di kala malam tiba. Jakarta, sepanjang jalan yang kulihat hanyalah kemacetan. Jakarta, sepanjang jalan yang kulihat hanyalah gedung-gedung pencakar langit yang selalu membuatku takjub akan keindahan, kemegahan, dan keunikan gedung-gedung tersebut. Dan yang lebih membuatku takjub yaitu orang-orang di balik kemegahan gedung pencakar langit tersebut, entah arsitekturnya maupun buruhnya. Kok bisa ya mereka bisa buat gedung segede ini? Kok bisa ya ada arsitektur yang ngedesain bangunan seunik ini? Gimana cara buatnya ya? 
Rasanya capek. Capek di jalan. Begitu sampai di rumah Iqbal, aku dan mba Peni disuguhi berbagai macam sate, mulai dari sate ayam, sate kambing, dan sate padang. Ya Allah, baik banget keluarganya Iqbal ini. Selesai makan, aku dan mba Peni masuk ke kamar. Menunaikan salat Isya lalu menonton tv hingga terlelap tidur dengan televisi yang masih menyala. 

No comments:

Powered by Blogger.